SALAM DAKWAH -- World Hijab Day atau Hari Hijab Sedunia yang mulai diperingati pada 1
Februari 2013 mulai menuai hasil, adalah buah pikiran Nazma Khan seorang gadis
Muslim berkebangsaan Amerika Serikat (AS) yang mengguncang dunia.
Nazma
Khan berani menyuarakan kebebasan ditengah gejolak sekulerisme di AS. Melalui
gerakan World Hijab Day yang akan selalu diperingati pada 1
Februari setidaknya telah menjadi hari penting bagi para muslimah untuk
kewajibannya menggunakan jibab sesuai tuntunan syariat Islam.
Di
AS, 1 Februari dalam peringatan World Hijab Day atau Hari
Jilbab Sedunia, telah menarik simpati lebih dari 1 juta orang terdiri
dari Muslimah, uniknya World Hijab Day ini pun diikuti oleh
wanita non-Muslim yang turut serta bergabung.
Pendapat Warga Dunia Terkait World
Hijab Day
"Saya
tidak terlatih menggunakan apa yang Anda sebut sebagai jilbab, anda tinggal
memasukkannya ke kepala Anda. Namun saya menemukan bahwa jangkauannya sangat
luas. " ujar Jess Rhodes, 21 tahun, seorang mahasiswi dari Norwich
Inggris.
Jess
Rhodes sangat ingin mencoba penutup kepala, tetapi sebagai seorang non-Muslim,
dia tak pernah berpikir bahwa itu merupakan sebuah pilihan.
Jadi
ketika temannya memberikan peluang untuk memakai jilbab, dia menyanggupinya.
"Dia meyakinkan saya bahwa saya tidak perlu menjadi Muslim, ini hanya soal
kesopanan, meskipun dikaitkan dengan Islam, jadi saya pikir, mengapa
tidak?"
Rhodes merupakan salah satu dari ratusan non-Muslim yang akan menggunakan
jilbab dalam peringatan pertama Hari Hijab Sedunia pada 1 Februari.
Jejaring
Sosial
Peringatan
yang diorganisasi oleh seorang perempuan asal New York, Nazma Khan, dan
disebarkan melalui situs jejaring sosial ini telah menarik perhatian Muslim dan
non-Muslim di lebih dari 50 negara di seluruh dunia.
Bagi
banyak orang sekuler dan liberal yang apatis pada simbol ketundukan pada
syariat Allah, hijab merupakan simbol penindasan dan perbedaan, dan menjadi
perdebatan—mengenai Islam—di negara-negara Barat.
Hari
Hijab Sedunia dirancang untuk meredakan kontroversi itu, dan mendorong
perempuan non-Muslim (perempuan Muslim yang tidak menggunakannya) untuk
menggunakan dan mengalami seperti apa menggunakan jilbab, sebagai bagian dari
upaya untuk saling memahami.
"Tumbuh
di Bronx, di NYC, saya mengalami diskriminasi yang besar karena hijab
saya," kata penyelenggara, Khan, yang pindah ke New York dari Banglades
pada usia 11 tahun. Dia merupakan satu-satunya hijabi (istilah
untuk pemakai jilbab) di sekolahnya.
"Di sekolah menengah, saya ibarat 'Batman' atau 'ninja,'" kata dia.
"Ketika saya kuliah tak lama setelah peristiwa 9/11, mereka memanggil saya
Osama bin Laden atau teroris. Itu sangat mengerikan. Saya berpikir,
satu-satunya cara untuk mengakhiri diskriminasi ini adalah jika kita meminta
rekan kita untuk merasakan sendiri pengalaman berhijab."
Khan tidak menyangka akan mendapatkan dukungan dari seluruh dunia. Dia
mengatakan telah dihubungi oleh puluhan orang dari berbagai negara, termasuk
Inggris, Australia, India, Pakistan, Perancis, dan Jerman. Informasi mengenai
kelompok ini telah diterjemahkan ke dalam 22 bahasa.
Melalui
jejaring sosial ini, Jess Rhodes terlibat. Rekannya, Widyan Al Ubudy, tinggal
di Australia dan meminta teman Facebook-nya untuk ikut terlibat.
Reaksi
"Reaksi langsung dari orangtua saya adalah mempertanyakan, apakah ini ide
yang baik, "Kata Rhodes, yang memutuskan untuk menggunakan jilbab selama
satu bulan. Mereka khawatir saya akan diserang di jalanan karena adanya
kesenjangan toleransi."
Rhodes juga khawatir dengan reaksi ini. Namun setelah delapan hari menggunakan
jilbab, dia terkejut dengan situasi positif yang dialaminya. "Saya tidak
dapat menjelaskan, tetapi orang-orang sangat membantu, terutama di
toko-toko," kata dia.
Esther
Dale (28), yang tinggal di negara bagian California, AS, merupakan seorang
perempuan non-Muslim lain yang mencoba menggunakan jilbab pada hari ini. Ibu
dari tiga anak ini diberi tahu oleh seorang temannya yang merupakan seorang hijabi.
Sebagai penganut Mormon, Dale paham pentingnya keyakinan dalam kehidupan sehari-hari, dan tuduhan yang didapat karena pakaian yang dikenakan. Dia mengetahui stigma terhadap penutup kepala dan berharap kesempatan ini dapat digunakan untuk menghapusnya.
"Saya mengetahui mengenai kesantunan dalam perilaku, tidak hanya pakaian
dan hanya merupakan asumsi yang salah jika perempuan menggunakannya karena
dipaksa, terutama di AS," kata dia. "Ini merupakan kesempatan yang
baik untuk mendidik orang bahwa Anda tidak dapat memberikan tuduhan yang akurat
terhadap seseorang berdasarkan apa yang mereka kenakan," kata Dale.
Sumber : VOA-ISLAM.com
0 komentar:
Post a Comment