Showing posts with label mualaf. Show all posts
Showing posts with label mualaf. Show all posts

Monday, June 2, 2014

Monica, Aktris India yang Kembali Pada Islam

monica-aktris-india-yang-menjadi-mualaf

SALAM DAKWAH -- KAIRO –- Aktris muda terkenal India, Monica telah memutuskan untuk meninggalkan kehidupan masa lampaunya dan memilih kembali ke Islam. Ia memakai jilbab dan memutuskan keluar dari industri film.

"Saya beralih kepada Islam bukan karena alasan cinta atau uang,” katanya sebagaimana dikutip Muslim Mirror, Ahad (1/6).

Alasan memilih Islam, lanjut dia, sebab ia menyukai dan merasa nyaman dengan prinsip-prinsip Islam. Meski begitu, keputusannya untuk meninggalkan industri perfilman sempat membuatnya merasa kehilangan, namun ia bertekad untuk tidak mengubah pikirannya.

Sebagaimana dilansir media di India, keputusan Monica diumumkan saat konferensi pers pada hari Jumat di mana ia merilis foto yang menunjukkan dirinya mengenakan kostum sederhana tradisional dengan jilbab. Ia pun tidak mengungkapkan alasan lebih lanjut terkait keputusannya bergabung dengan agama yang perkembangannya tercepat di seluruh dunia itu. Selain itu, Monica juga mengubah namanya menjadi MG Rahima.

Monica memulai kariernya sebagai artis anak-anak di Tamil bioskop dan telah bermain di lebih dari 50 film. Wajahnya juga sempat menghiasi industri film di India Selatan seperti Telugu, Malayalam dan Kannada.

Monica memenangkan Tamil Nadu Negara Award sebagai aktor anak terbaik untuk penampilannya dalam Vijaykanth, film yang juga dibintangi En Aasai Machan yang dikenal untuk beberapa film Tamil seperti Azhagi, IMSAI Arasan 23m Pulakesi dan Silandhi.

Pada tahun 2001, Monica telah mengubah namanya menjadi Paravana untuk industri film Malayalam. Aktris ini terakhir tampil dalam film Tamil Jannal Oram yang dirilis pada November 2013 lalu.

Monica bukanlah selebriti India pertama yang memeluk Islam tahun ini. Sebelumnya pada Februari, musisi AR Rahman dan Yuvan Shankar Raja telah mengambil keputusan yang sama untuk menjadi muallaf. Ada sekitar 180 juta Muslim di India yang berpenduduk mayoritas Hindu.


Wednesday, October 2, 2013

Kisah Perjalanan Pendeta Yusuf Estes dalam Menemukan Islam [VIDEO]

yusuf estes salam dakwah

SALAM DAKWAH -- Awalnya ia bekerja sebagai musisi di gereja sekaligus penginjil. Namun kini, ia berkeliling dunia dan telah banyak mengislamkan orang. Yusuf Estes lahir tahun 1944 di Ohio, AS. Tahun 1962 hingga 1990 ia bekerja sebagai musisi di gereja, penginjil sekaligus mengelola bisnis alat musik piano dan organ. Awal 1991 ia terlibat bisnis dengan seorang pengusaha Muslim asal Mesir bernama Muhammad Abd Rahim. Awalnya ia bermaksud meng-Kristenkan pria Mesir itu. Namun akhirnya ia justru memeluk Islam diikuti oleh istri, anak-anak, ayah serta mertuanya.
Ia menguasai bahasa Arab secara aktif, demikian juga ilmu Al-Quran selepas belajar di Mesir, Maroko dan Turki. Sejak 2006, Yusuf Estes secara regular tampil di PeaceTV, Huda TV, demikian pula IslamChannel yang bermarkas di Inggris. Ia juga muncul dalam serial televisi Islam untuk anak-anak bertajuk “Qasas Ul Anbiya” yang bercerita tentang kisah-kisah para Nabi.
Yusuf terlibat aktif di berbagai aktifitas dakwah. Misalnya, ia menjadi imam tetap di markas militer AS di Texas, dai di penjara sejak tahun 1994, dan pernah menjadi delegasi PBB untuk perdamaian dunia. Syekh Yusuf telah meng-Islam-kan banyak kalangan, dari birokrat, guru, hingga pelajar. Berikut kisah Syekh Yusuf sebagaimana dituturkannya di situs www.islamtomorrow.com.
Nama saya Yusuf Estes. Saat ini saya dipercaya memimpin sebuah organisasi bagi Muslim asli Amerika. Kini sepanjang hidup saya, saya berikan untuk Islam. Saya berkeliling dunia untuk memberikan ceramah dan berbagi pengalaman bagaimana Islam hadir dalam diri saya. Organisasi kami terbuka untuk berdialog dengan berbagai kalangan. Misalnya para pemuka agama seperti pendeta, rabi (ulama kaum Yahudi-red) dan lainnya dimanapun mereka berada.
Kebanyakan medan kerja kami adalah kawasan institusional seperti pusat militer, universitas, hingga penjara. Tujuan utama adalah untuk menunjukkan Islam yang sebenarnya dan memperkenalkan bagaimana hidup sebagai seorang Muslim. Meskipun Islam saat ini berkembang sebagai salah satu agama terbesar kedua setelah Kristen, namun masih banyak saja terjadi mis-informasi tentang Islam. Misalnya Islam selalu diidentikkan dengan hal berbau Arab. 
Banyak orang bertanya pada saya bagaimana mungkin seorang pendeta atau pastur Kristen bisa masuk Islam. Padahal tiap hari kami menyampaikan kebenaran Kristen. Belum lagi dengan berita-berita negatif tentang perilaku buruk Islam di media. Pasti tidak ada orang yang tertarik dengan Islam. Pernah seorang pria Kristen bertanya pada saya melalui e-mail kenapa dan bagaimana saya meninggalkan Kristen dan masuk Islam. Saya berterima kasih pada semua yang bersedia mendengar kisah saya berikut ini. Semoga Allah ridha. 
***
Saya lahir di Ohio, besar dan bersekolah di Texas. Dalam tubuh saya mengalir darah Amerika, Irlandia dan Jerman hingga sering disebut WASP (White Anglo Saxon Protestant). Keluarga kami adalah penganut Kristen yang sangat taat. Tahun 1949, ketika masih di bangku SD kami pindah ke Houston, Texas. Saya dan keluarga sering hadir secara rutin ke gereja. Malah saya dibaptis pada usia 12 tahun di Pasadena, Texas.
Sebagai seorang remaja, saya punya keinginan untuk bisa berkunjung ke banyak gereja di berbagai tempat guna menambah pengalaman dan pengetahuan Kristen. Kala itu saya benar-benar haus untuk mempelajari ajaran Kristen. Tidak hanya ajaran Kristen, bahkan ajaran Hindu, Budha, Yahudi, hingga Metafisika juga saya pelajari. Hanya satu ajaran yang saya tidak begitu serius dan bahkan tidak menaruh perhatian sama sekali, yakni Islam.
Saya suka musik terutama klasik. Hingga saya sering dapat undangan menyanyi di berbagai gereja. Di kisaran tahun 1960-an saya mengajar musik dan tahun 1963 punya studio sendiri di Laurel, Maryland yang saya beri nama “Estes Music Studios.” Hingga tahun 1990 atau hampir 30 tahun lamanya saya bersama dengan ayah mengelola bisnis entertainment. Kami juga punya toko alat musik piano dan organ di Texas, Oklahoma hingga Florida. 
Ayah dulu pernah aktif dalam aneka kegiatan gereja. Dari sekolah minggu hingga aktifitas penggalangan dana bagi pengembangan sekolah Kristen. Dia sangat menguasai Bibel dan juga terjemahannya. Melalui ayah pula saya belajar Bibel dalam berbagai versi dan terjemahan. 
Ayah saya, seperti kebanyakan pendeta lainnya, selalu mendapat pertanyaan: ”Apakah Tuhan yang menulis Bibel?” Biasanya jawabannya adalah: “Bibel adalah rangkaian kata inspirasi seorang lelaki yang berasal dari Tuhan.” Itu bermakna, menurut saya, manusialah yang menulis Bibel. Tentu saja, selama bertahun-tahun, jawaban itu menimbulkan banyak tanggapan bahkan penolakan. Namun ayah selalu menambahkan,”Akan tetapi (Bibel) itu tetap kata dari Tuhan yang diilhamkan kepada manusia.” Begitulah.
Beranjak dewasa dan memiliki usaha sendiri, akhirnya saya “menyerah”. Saya tidak mungkin jadi seorang pendeta. Saya takut bermental hipokrit. Saya belum bisa menerima tentang konsep Tuhan itu satu namun pada saat yang sama Dia menjadi “Tiga” atau Trinitas. Saya selalu bertanya-tanya, jika Dia “Tuhan Bapa” bagaimana mungkin pada saat yang sama juga menjadi “Anak Tuhan?”
Selama bertahun-tahun saya mencoba mencari Tuhan dengan berbagai cara. Saya pelajari dan cek dalam agama Budha, Hindu Metafisika, Taoisme, Yahudi dan banyak lagi. Bertahun-tahun saya pelajari hingga mendekati usia ke-50 saya belum menemukan siapa Tuhan yang sebenarnya. Lalu saya mencoba bergaul dengan banyak kalangan, termasuk dengan para evangelis dan penginjil yang punya pengalaman di berbagai tempat dan negara.
Kami sering melakukan perjalanan jauh. Namun tidak ada jawaban yang memuaskan. Tidak ada yang mau menjawab siapa yang menulis Bibel sebenarnya, kenapa Bibel banyak versi padahal bukunya sama, kenapa banyak sekali terdapat kesalahan versi terkini dengan versi terdahulu. Dan, bahkan, dalam berbagai versi Bibel, saya tidak menemukan satupun kata “Trinitas.” 
Kolega saya akhirnya tidak mampu meyakinkan saya. Mereka lelah mencari jawaban yang tepat atas pertanyaan-pertanyaan “nyeleneh” tersebut. Sampai akhirnya datanglah satu kejadian yang merupakan awal perjumpaan saya dengan Islam. Kejadian yang akhirnya meruntuhkan semua konsep-konsep dan keyakinan-keyakinan yang telah membebani saya selama bertahun-tahun. Solusi dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya datang justru dengan cara, yang menurut saya, aneh dan ganjil. 
Ceritanya, awal 1991 ayah mencoba menjalin bisnis dengan seorang pengusaha dari Mesir. Ia meminta saya untuk bertemu dengan pria Mesir itu. Bagi saya inilah kali pertama mengadakan kontak bisnis internasional. Yang saya tahu tentang Mesir adalah piramid, patung Sphinx, dan sungai Nil. Hanya itu. Lalu ayah menyebut bahwa pria itu seorang Muslim.
Apa? Islam? Saya tidak percaya dengan apa yang saya dengar. Menjalin hubungan dengan orang Islam? Spontan batin saya menolak. Tidak, no way! Saya mengingatkan ayah agar membatalkan kontak dengan pria itu dengan menyebut hal-hal negatif tentang orang Islam. Orang Islam teroris, pembajak, penculik, pengebom, dan entah apa lagi. Saya sebut juga mereka (orang Islam) tidak percaya dengan Tuhan, tiap hari kerjanya mencium tanah lima kali sehari, dan menyembah kotak hitam di tengah padang pasir (maksudnya Ka’bah-red.). Tidak! Saya tidak mau jumpa orang itu. 

Ayah tetap mendesak. Ia menyebut orang itu sangat ramah dan baik hati. Akhirnya saya menyerah dan bersedia bertemu dengan pengusaha Islam tersebut. Tapi untuk pertemuan tersebut saya buat semacam “aturan” khusus. Antara lain; saya mau bertemu dengannya pada hari Minggu setelah kegiatan di gereja, sehingga punya “kekuatan” kala bertemu nanti. Saya musti bawa Bibel, pakai baju jubah dan peci ala gereja bertuliskan “Yesus Tuhan Kami.” Istri dan kedua anak perempuan saya juga harus datang di saat pertemuan pertama kali dengan orang Islam itu.
Tibalah hari H, ketika saya masuk toko, langsung saya tanya pada ayah mana orang Islam itu. Ayah menunjuk seorang laki-laki di dekatnya. Mendadak saya dilanda kebingungan. Ah sepertinya pria itu bukan si Islam yang dimaksud. Hati saya membatin. Penampilannya tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Laki-laki asal Mesir itu tidak berjanggut, bahkan tidak punya rambut sama sekali alias botak. Ia tidak bersorban dan tidak pula berjubah. Malah pakai jas. 
Spontan saya mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Mengamati orang-orang yang hadir. Saya mencari-cari orang yang pakai jubah dengan surban melilit di kepalanya, berjenggot lebat serta alis mata tebal. Khas orang Arab. Namun tidak ada seorangpun yang memenuhi kriteria saya. Yang lebih mengejutkan, pria itu malah menegur saya dengan sangat ramah. Ia menyambut dan menjabat tangan saya dengan hangat. Namun saya tidak terkesan dengan tingkahnya itu. Hanya ada satu pikiran, yakni bagaimana meng-Kristenkan pria Mesir itu. 
Selepas perkenalan singkat, saya pun mulai “menginterogasi” pria Mesir tersebut. Anda percaya dengan Tuhan? tanya saya mengawali. Pria itu menjawab ya. Saya mencocornya lagi dengan rentetan pertanyaan lain seperti keyakinan Islam kepada Nabi Adam, Ibrahim. Musa, Daud, Sulaiman hingga Isa Al-Masih. Saya dibuat terpana kala mendengar jawabannya. Ia menjelaskan Islam percaya dengan Nabi-Nabi yang saya sebut tadi. Bahkan makin ternganga kala diberitahu Islam juga beriman dengan salah satu Kitab Allah yakni Injil dan Nabi Isa adalah salah satu utusan-Nya. Fantastik! 

Yang bikin saya syok adalah tatkala mengetahui ternyata Islam juga percaya dengan Almasih (baca: Nabi Isa). Dalam Islam ternyata Isa diimani; sebagai utusan Tuhan dan bukan Tuhan, lahir tanpa seorang ayah, ibunya adalah Maryam. Ini sudah lebih dari cukup bagi saya untuk mempelajari Islam lebih lanjut. Ah padahal sebelumnya saya sangat benci dengan Islam. Kini saya harus mempelajarinya? Bagaimana mungkin? 
Akhirnya kami jadi sering bertemu dan berdiskusi terutama tentang keimanan. Pria ini sangat lain. Ramah, kalem, dan terkesan pemalu. Ia mendengar dengan serius setiap kata-kata saya dan tidak menyela sedikitpun. Lama kelamaan saya jadi menyukai pria itu. Namun waktu itu yang masih terpikir oleh saya adalah mencari cara untuk mengajaknya masuk Kristen. Orang ini sangat potensial menurut saya.
Saya akhirnya setuju untuk menjalin bisnis dengan pengusaha Mesir itu. Kami sering mengadakan perjalanan bisnis di sepanjang kawasan Utara Texas. Sepanjang hari kami justru banyak berdiskusi hal keyakinan Islam dan Kristen ketimbang masalah bisnis. Kami bicara tentang konsep Tuhan, arti hidup, maksud penciptaan manusia dan alam serta isinya, tentang Nabi, dan banyak lainnya lagi. 
Satu ketika saya dapat kabar Muhammad bermaksud pindah rumah. Selama ini ia tinggal bersama dengan seorang temannya. Ia berencana untuk tinggal di mesjid selama beberapa waktu. Saya dan ayah mengajaknya tinggal di rumah kami saja. Ia pun setuju.
Satu ketika salah seorang teman saya –seorang pendeta- mengalami serangan jantung. Kami membawanya ke rumah sakit terdekat dan tinggal beberapa saat disana. Saya pun mesti menjenguknya beberapa kali dalam seminggu. Muhammad sering saya ajak serta. Rupanya teman saya itu tidak begitu suka. Bahkan ia dengan nyata menolak berdiskusi apapun tentang Islam. Hingga satu hari datang pasien baru. Seorang pria yang kemudian tinggal satu kamar di rumah sakit dengan teman saya. Ia menggunakan kursi roda. Saya berkenalan dengan pria itu. Sekilas tampaknya pria itu seperti sedang depresi berat. 
Akhirnya saya tahu pria itu kesepian dan depresi berat serta butuh teman dalam hidupnya. Jadilah saya mencoba mengingatkan dia tentang Tuhan. Saya kisahkan tentang Nabi Yunus yang hidup dalam perut ikan. Sendirian dalam gelap namun masih ada Tuhan bersamanya.
Selepas mendengar kisah itu, pria berkursi roda itu mendongakkan kepalanya seraya meminta maaf. Ia menceritakan bahwa ada sedikit masalah yang melandanya. Selanjutnya ia ingin mengakuinya kesalahannya itu di hadapan saya. Saya berujar bahwa saya bukan seorang pendeta. Pria itu justru menjawab; “Sebenarnya saya dulu seorang pendeta.”
“Apa? Saya barusan menceramahi seorang pendeta ? Saya benar-benar syok kala itu. Kenapa jadi begini? Apa yang terjadi dengan dunia ini sebenarnya?
Rupanya pendeta itu –namanya Peter Jacobs- adalah mantan misionaris yang telah berkeliling Amerika Latin dan Meksiko selama 12 tahun. Kini ia malah depresi dan butuh istirahat. Saya menawarkannya untuk tinggal di rumah kami. Dalam perjalanan ke rumah, saya berdiskusi dengan Peter tentang Islam. Saya sungguh terkejut kala diberitahu para pendeta Kristen juga belajar tentang Islam dan bahkan sebagiannya ada yang doktor di bidang itu. Ini hal baru bagi saya tentunya. 
Sejak itu, Muhammad, Peter dan saya sering terlibat diskusi hingga larut malam. Satu ketika masuk ke masalah kitab-kitab suci. Saya takjub kala Muhammad menceritakan bahwa dari pertama diturunkan hingga saat ini atau selama 1400 tahun Al-Quran hanya ada satu versi. Al-Quran dihafal oleh jutaan Muslim di seluruh dunia dengan satu bahasa yaitu Arab. Sungguh mustahil. Bagaimana mungkin kitab suci kami bisa berubah-ubah dengan berbagai versi sementara Al-Quran tetap terpelihara?
Satu hari pendeta Peter Jacobs ingin melihat apa yang dilakukan orang Islam di Mesjid. Ia pun ikut Muhammad. Sepulang dari sana saya bertanya pada Peter ada kegiatan apa di sana. Peter menyebut tidak ada acara apa-apa di mesjid. Mereka (orang Islam) cuma datang dan shalat saja. Tidak ada acara seremoni apapun. Apa? tidak ada ceramah atau nyanyian apapun?
Beberapa hari kemudian Peter minta ikut lagi ke mesjid. Namun kali ini lain. Mereka tidak pulang-pulang hingga larut malam. Saya khawatir sesuatu terjadi terhadap mereka. Akhirnya Muhammad kembali dengan seorang pria berjubah. Saya sungguh terkejut dengan laki-laki yang datang bersama Muhammad itu. Ia mengenakan jubah dan topi putih. Ah rupanya si Peter. Ada apa dengan kamu tanya saya. Jawaban Peter bak petir di siang bolong. Ia menyebut sudah bersyahadah. Oh Tuhan! Apa yang terjadi? Pendeta masuk Islam?
Saya benar-benar syok dan semalaman tidak bisa tidur memikirkan hal itu. Saya ceritakan kejadian tersebut kepada istri. Istri saya justru menyatakan ia juga ingin masuk Islam, karena itulah yang benar. Oh Tuhan! Saya benar-benar tidak percaya. 

Saya turun ke bawah dan membangunkan Muhammad seraya minta waktu diskusi dengannya. Sepanjang malam hingga subuh kami bertukar pendapat. Muhammad minta izin shalat Subuh. Ketika itu saya mendapat firasat, kebenaran telah datang. Saya harus membuat pilihan. Lalu saya keluar rumah. Persis di belakang rumah, saya memungut sepotong papan. Lalu saya letakkan papan itu menghadap ke arah orang Islam shalat. Saya pun bersujud menghadap kiblat dan meminta petunjuk-Nya.
Pagi itu, pukul 11, saya bersyahadah di hadapan dua orang saksi, mantan pendeta Peter Jacobs dan Muhammad Abd. Rahman. Alhamdulillah, di usia ke-47 saya jadi seorang Muslim. Beberapa menit kemudian istri saya juga ikut bersyahadah. Ayah baru memeluk Islam beberapa bulan kemudian. Sejak itu saya dan ayah sering ke mesjid terdekat di kota kami. Ayah mertua saya akhirnya juga mengikuti kami. Di usianya yang ke-86 ia memeluk Islam. Mertua saya meninggal persis beberapa bulan selepas bersyahadah. Semoga Allah ampuni dia. Amiin.
Adapun anak-anak saya pindahkan dari sekolah Kristen ke sekolah Islam. Setelah sepuluh tahun bersyahadah, mereka telah mampu menghafal beberapa juz Al-Quran. 

Sejak itu saya habiskan waktu hanya untuk Islam. Saya berdakwah ke mana-mana, hingga ke luar Amerika. Banyak sudah yang memeluk Islam. Baik dari kalangan birokrat, guru, dan pelajar dari berbagai agama. Dari Hindu, Katolik, Protestan, Yahudi, Rusia Orthodok, hingga Atheis. Saat ini saya juga mengelola sebuah website yakni Islamalways.com yang punya motto terkenal, " where we're always open 24 hours a day and always plenty of free parking." (kami buka 24 jam sehari dan banyak tempat parkir gratis). 

Islam telah mengubah cara saya melihat kehidupan ini dengan lebih bermakna. Semoga Allah pelihara hidayah yang sudah ada pada kita dan sebarkan hidayah itu ke seluruh alam. Amin. [Zulkarnain Jalil].

Berikut Video Perjalan Pendeta Yusuf Estes dalam Menemukan Islam


 

Yahya Yopie Waloni (Muhammad Yahya) : Islam Meruntuhkan Iman Sang Pendeta dan Keluarganya [VIDEO]

muhammad yahya waloni

SALAM DAKWAH -- Warga di kota Tolitoli di penghujung bulan Ramadan 1427 Hijriah belum lama ini, dihebohkan dengan salah seorang pendeta bersama seluruh keluarganya memeluk Islam. Di mana-mana santer dibicarakan soal Pendeta Yahya Yopie Waloni dan keluarganya masuk Islam. Bahkan media internet pun sudah mengakses kabar ini. Bagaimana aktivitas eks pendeta itu setelah memeluk Islam. Berikut kisahnya:

PAGI menjelang siang hari itu, nuansa Idul Fitri 1427 Hijriah masih terasa di Tolitoli. Hari itu baru memasuki hari ke-9 lebaran. Kendati terik panas matahari masih mengitari Tolitoli dan sekitarnya, tetapi denyut aktivitas warga tetap seperti biasa.

Begitupun di sekitar jalan Bangau, Kelurahan Tuweley, Kelurahan Baru, Kabupaten Tolitoli. Aktivitas sehari-hari warga berjalan seperti biasa. Kecuali di salah satu rumah kost di jalan itu, pintunya tampak masih tertutup rapat. Di rumah kost inilah, Yahya Yopie Waloni (36), bersama istrinya Lusiana (33) dan tiga orang anaknya tinggal sementara.

“Pak Yahya bersama istrinya baru saja keluar. Sebaiknya bapak tunggu saja di sini, sebelum banyak orang. Karena kalau pak Yahya ada di sini banyak sekali tamunya. Nanti bapak sulit ketemu beliau,” jelas ibu Ani, tetangga depan rumah Yahya kepada Radar Sulteng.

Yahya bersama istrinya memeluk Islam secara sah pada hari Rabu, 11 Oktober 2006 pukul 12.00 Wita melalui tuntunan Komarudin Sofa, Sekretaris Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (NU) Tolitoli. Hari itulah Yahya dengan tulus mengucapkan dua kalimat syahadat.

Setelah memeluk Islam, nama Yahya Yopie Waloni diganti dengan Muhammad Yahya, dan istrinya Lusiana diganti dengan Mutmainnah. Begitupun ketiga anaknya. Putri tertuanya Silvana (8 tahun) diganti dengan nama Nur Hidayah, Sarah (7 tahun) menjadi Siti Sarah, dan putra bungsunya Zakaria (4 tahun) tetap menggunakan nama itu.

Muhammad Yahya sebelum memeluk Islam, pernah menjabat Ketua Sekolah Tinggi Theologia Calvinis di Sorong tahun 2000-2004. Saat itu juga ia sebagai pendeta dengan status sebagai pelayan umum dan terdaftar pada Badan Pengelola Am Sinode GKI di tanah Papua, Wilayah VI Sorong-Kaimana. Ia menetap di Sorong sejak tahun 1997. Tahun 2004 ia kemudian pindah ke Balikpapan. Di sana ia menjadi dosen di Universitas Balikpapan (Uniba) sampai tahun 2006. Yahya menginjakkan kaki di kota Cengkeh, Tolitoli, tanggal 16 Agustus 2006.

Sambil menunggu kedatangan Yahya, ibu Ani mempersilahkan Radar Sulteng masuk ke rumahnya. Sebagai tetangga, Ibu Ani tahu banyak aktivitas yang terjadi di rumah kontrakan Yahya. “Pak Yahya pindah di sini kira-kira baru tiga minggu lalu. Sejak pindah, disini rame terus. Orang-orang bergantian datang. Ada yang datang dengan keluarganya. Malah ada yang rombongan dengan truk dan Kijang pickup. Karena rame sekali terpaksa dibuat sabua (tenda, red) dan drop kursi dari kantor Lurah Tuweley,” cerita ibu Ani.

Hari pertama Yahya pindah di Jalan Bangau itu, orang-orang berdatangan sambil membawa sumbangan. Ada yang menyumbang belanga, kompor, kasur, televisi, Al-Quran, gorden dan kursi. Mereka bersimpati karena Yahya sekeluarga saat pindah dari tempat tinggal pertamanya hanya pakaian di badan. Rumah yang mereka tempati sebelumnya di Tanah Abang, Kelurahan Panasakan adalah fasilitas yang diperoleh atas bantuan gereja. Sehingga barang yang bukan miliknya ia tanggalkan semuanya.

Tidak lama menunggu di rumah Ibu Ani, datang dua orang ibu-ibu yang berpakaian dinas pegawai negeri sipil. Keduanya juga mampir di rumah Ibu Ani. Salah satu dari mereka adalah Hj Nurdiana, pegawai di Balitbang Diklat, Pemkab Tolitoli. Ibu berjilbab ini ternyata guru mengaji. Dia adalah guru mengaji yang khusus membimbing istri Yahya.

“Saya baru tiga kali pertemuan dengan ibu Yahya. Supaya ibu Yahya mudah memahami huruf hijjaiyah, saya menggunakan metode albarqy. Alhamdulillah sekarang sedikit sudah bisa,” kata Nurdiana.

Menurutnya, dia tidak kesulitan mengajari ibu Yahya. Malah, katanya, ibu Yahya cepat sekali memahami huruf-huruf hijaiyah yang diajarkan. Karena itu dia memperkirakan kemungkinan dalam waktu tidak lama ibu Yahya sudah bisa lancar mengaji.

Hanya sekitar 20 menit menunggu di rumah ibu Ani, bunyi kendaraan sepeda motor butut milik Yahya terdengar memasuki halaman rumah kontrakannya. Radar Sulteng diterima dengan senang hati, lalu dipersilahkan duduk di sofa. Sementara Yahya memilih duduk di lantai alas karpet. Badannya disandarkan ke kursi sofa. “Kita lebih senang duduk di bawah sini,” tuturnya dengan logat kental Manado.

Cara duduk Yahya, tampak tidak tenang. Sesekali ia membuka kedua selangkangnya. Ternyata karena baru beberapa hari selesai disunat. “Setelah tiga hari saya masuk Islam, saya langsung minta disunat di rumah ini,” cerita Yahya, sesekali disertai canda.

Penataan interior rumah kost Yahya tampak apik. Di dinding ruang tamu tampak terpampang kaligrafi ayat kursi yang dibingkai dengan warna keemasan. Di sisi lain, kaligrafi Allah-Muhammad juga terpampang. Di meja ruang tamu terdapat dua buah Al-Quran lengkap terjemahannya. Di tengah meja itu, juga masih ada tiga toples kue lebaran. “Rumah ini saya kontrak sementara. Saya sudah bayar Rp 2,5 juta,” rinci Yahya.

Di tengah asiknya bercerita, istri Yahya, Mutmainnah menyuguhkan beberapa cangkir teh panas. “Silahkan diminum teh panasnya,” kata ibu tiga anak ini yang saat itu mengenakan jilbab cokelat.

Tidak lama kemudian, dia masuk di salah satu kamar dan mengajak guru mengajinya Hj Nurdiana bersama rekannya. Dari balik kamar itulah terdengar suara Mutmainnah yang sedang mengeja satu per satu huruf hijaiyah. Terdengar memang masih kaku, tetapi berulang-ulang satu per satu huruf-huruf Alquran itu dilafalkannya.

Lain halnya dengan suaminya, Yahya. Pria kelahiran Manado ini mengaku sudah bisa melafalkan beberapa ayat setelah beberapa kali diajarkan mengaji oleh Komarudin Sofa. Selain Komarudin, selama ini ia juga mendapat bimbingan dari ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tolitoli, Yusuf Yamani. “Hanya lima menit saya diajarkan. Saya langsung paham. Surat Fatihah saya sudah hafal,” ujar Yahya.

Selain belajar mengaji dan menerima tamu, aktivitas Yahya juga kerap menghadiri undangan di beberapa masjid. Tidak hanya dalam kota, tetapi sampai ke desa-desa di Kabupaten Tolitoli. “Saya ditemani beberapa orang. Ada juga dari Departemen Agama,” katanya.

Yahya bersama istrinya memeluk Islam secara sah pada hari Rabu, 11 Oktober 2006 pukul 12.00 Wita melalui tuntunan Komarudin Sofa, sekretaris Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (NU) Tolitoli. “Hari itu saya sudah mengucapkan dua kalimat syahadat yang dituntun Pak Komarudin,” cerita Yahya.

PAK Yahya, begitu sapaan akrabnya. Pria kelahiran Manado tahun 1970 ini lahir dari kalangan terdidik dan disiplin. Ayahnya seorang pensiunan tentara. Sekarang menjabat anggota DPRD di salah satu kabupaten baru di Sulawesi Utara. Sebagai putra bungsu dari tujuh bersaudara, Yahya saat bujang termasuk salah seorang generasi yang nakal. “Saya tidak perlu cerita masa lalu saya. Yang pasti saya juga dulu pernah nakal,” tukasnya.

Lantaran kenakalannya itulah mungkin, sehingga beberapa bagian badannya terdapat bekas tato. Di lengannya terdapat bekas luka setrika untuk menghilangkan tatonya. “Ini dulu bekas tato. Tapi semua sudah saya setrika,” katanya sambil menunjuk bekas-bekas tatonya itu.

Postur tubuhnya memang tampak mendukung. Tinggi dan tegap. Meski ia pernah nakal, tetapi pendidikan formalnya sampai ke tingkat doktor. Ia menyandang gelar doktor teologi jurusan filsafat. Saat ditemui, Yahya memperlihatkan ijazah asli yang dikeluarkan Institut Theologia Oikumene Imanuel Manado tertanggal 10 Januari 2004. Sehingga titel yang didapatnya pun akhirnya lengkap menjadi Dr Yahya Yopie Waloni, S.TH, M.TH.

Sebelum menyatakan dirinya masuk Islam, beberapa hari sebelumnya Yahya mengaku sempat bertemu dengan seorang penjual ikan, di rumah lamanya, kompleks Tanah Abang, Kelurahan Panasakan, Tolitoli. Pertemuannya dengan si penjual ikan berlangsung tiga kali berturut-turut. Dan anehnya lagi, jam pertemuannya dengan si penjual ikan itu, tidak pernah meleset dari pukul 09.45 Wita.

“Kepada saya si penjual ikan itu mengaku namanya Sappo (dalam bahasa Bugis artinya sepupu). Dia juga panggil saya Sappo. Tapi dia baik sekali dengan saya,” cerita Yahya.

Setiap kali ketemu dengan si penjual ikan itu, Yahya mengaku berdialog panjang soal Islam. Tapi Yahya mengaku aneh, karena si penjual ikan yang mengaku tidak lulus Sekolah Dasar (SD) tetapi begitu mahir dalam menceritakan soal Islam.

Pertemuan ketiga kalinya, lanjut Yahya, si penjual ikan itu sudah tampak lelah. “Karena saya lihat sudah lelah, saya bilang, buka puasa saja. Tapi si penjual ikan itu tetap ngotot tidak mau buka puasanya,” cerita Yahya, yang ditemui di rumah kontrakannya.

Sampai saat ini Yahya mengaku tidak pernah lagi bertemu dengan penjual ikan itu. Si penjual ikan mengaku dari dusun Doyan, desa Sandana (salah satu desa di sebelah utara kota Tolitoli). Meski sudah beberapa orang yang mencarinya hingga ke Doyan, dengan ciri-ciri yang dijelaskan Yahya, tapi si penjual ikan itu tetap tidak ditemukan.

Sejak pertemuannya dengan si penjual ikan itulah katanya, konflik internal keluarga Yahya dengan istrinya meruncing. Istrinya, Lusiana (sekarang Mutmainnah, red), tetap ngotot untuk tidak memeluk Islam. Ia tetap bertahan pada agama yang dianut sebelumnya. “Malah saya dianggap sudah gila,” katanya.

Tidak lama setelah itu, kata Yahya, tepatnya 17 Ramadan 1427 Hijriah atau tanggal 10 Oktober sekitar pukul 23.00 Wita. Ia antara sadar dengan tidak mengaku mimpi bertemu dengan seseorang yang berpakaian serba putih, duduk di atas kursi. Sementara Yahya di lantai dengan posisi duduk bersila dan berhadap-hadapan dengan seseorang yang berpakaian serba putih itu. “Saya dialog dengan bapak itu. Namanya, katanya Lailatulkadar,” ujar Yahya mengisahkan.

Setelah dari itu, Yahya kemudian berada di satu tempat yang dia sendiri tidak pernah melihat tempat itu sebelumnya. Di tempat itulah, Yahya menengadah ke atas dan melihat ada pintu buka-tutup. Tidak lama berselang, dua perempuan masuk ke dalam. Perempuan yang pertama masuk, tanpa hambatan apa-apa. Namun perempuan yang kedua, tersengat api panas.

“Setelah saya sadar dari mimpi itu, seluruh badan saya, mulai dari ujung kaki sampai kepala berkeringat. Saya seperti orang yang kena malaria. Saya sudah minum obat, tapi tidak ada perubahan. Tetap saja begitu,” cerita Yahya.

Sekitar dua jam dari peristiwa itu, di sebelah kamar, dia mendengar suara tangisan. Orang itu menangis terus seperti layaknya anak kecil. Yahya yang masih dalam kondisi panas-dingin, menghampiri suara tangisan itu. Ternyata, yang menangis itu adalah istrinya, Mutmainnah.

“Saya kaget. Kenapa istri saya tiba-tiba menangis. Saya tanya kenapa menangis. Dia tidak menjawab, malah langsung memeluk saya,” tutur Yahya.

Ternyata tangisan istri Yahya itu mengandung arti yang luar biasa. Ia menangis karena mimpi yang diceritakan suaminya kepadanya, sama dengan apa yang dimimpikan Mutmainnah. “Tadinya saya sudah hampir cerai dengan istri, karena dia tetap bertahan pada agama yang ia anut. Tapi karena mimpi itulah, malah akhirnya istri saya yang mengajak,” tandasnya.

Masuknya Yahya ke agama Islam, menimbulkan banyak interpretasi. Menurut Yahya, ada yang menyebut dirinya orang gila. Ada juga yang meragukannya, dan mungkin masih banyak interpretasi lain lagi tentang dirinya. “Tapi cukup saja sampai pada interpretasi, jangan lagi melebar ke yang lain,” pungkasnya.



  Sumber : Radar SultengMualaf.com

Bernard Nababan (Syamsul Arifin Nababan) : Ragu Pada Isi Alkitab [VIDEO]

bernard nababan salam dakwah

SALAM DAKWAH -- Menjadi seorang pendeta adalah harapan kedua orang tuanya. Namun, kehendak Allah SWT mengantarkan Bernard Nababan pada kebenaran Islam. Bahkan, ia akhirnya menjadi juru dakwah dalam agama Islam.

Saya lahir di Tebing Tinggi, Sumatera Utara, 10 November 1966. Saya anak ketiga dari tujuh bersaudara. Kedua orang tua memberi saya nama Bernard Nababan. Ayah saya adalah seorang pendeta Gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) di Sumatera Utara. Sedangkan ibu seorang pemandu lagu-lagu rohani di gereja.

Sejak kecil kami mendapat bimbingan dan ajaran-ajaran kristiani. Orang tua saya sangat berharap salah seorang dari kami harus menjadi seorang pendeta. Sayalah salah satu dari harapan mereka.

Kemudian, saya disekolahkan di lingkungan yang khusus mendidik para calon pendeta, seperti Sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) Kristen. Lalu berlanjut pada Sekolah Tinggi Teologi (STT) Nomensen, yaitu sekolah untuk calon pendeta di Medan.

Di kampus STT ini saya mendapat pendidikan penuh. Saya wajib mengikuti kegiatan seminari. Kemudian, saya diangkat menjadi Evangelist atau penginjil selama tiga tahun enam bulan pada Gereja HKBP Sebagai calon pendeta dan penginjil pada Sekolah Tinggi Teologi, saya bersama beberapa teman wajib mengadakan kegiatan di luar sekolah, seperti KKN (Kuliah Kerja Nyata).

Tahun 1989 saya diutus bersama beberapa teman untuk berkunjung ke suatu wilayah. Tujuan kegiatan ini, selain untuk memberi bantuan sosial kepada masyarakat, khususnya masyarakat muslim, juga untuk menyebarkan ajaran Injil. Dua prioritas inilah yang menjadi tujuan kami berkunjung ke perkampungan muslim. Memang, sebagai penginjil kami diwajiban untuk itu. Sebab, agama kami (Kristen) sangat menaruh perhatian dan mengajarkan rasa kasih terhadap sesamanya.

Dalam kegiatan ini saya sangat optimis. Namun, sebelum misi berjalan, saya bersama teman-teman harus berhadapan dulu dengan para pemuka kampung. Mereka menanyakan maksud kedatangan kami. Kami menjawab dengan terus terang.

Keterus-terangan kami ini oleh mereka (tokoh masyarakat) dijawab dengan ajakan berdialog. Kami diajak ke rumah tokoh masyarakat itu. Di sana kami mulai berdialog seputar kegiatan tersebut. Tokoh masyarakat itu mengakui, tujuan kegiatan kami tersebut sangat baik. Namun, ia mengingatkan agar jangan dimanfaatkan untuk menyebarkan agama. Mereka pada prinsipnya siap dibantu, tapi tidak untuk pindah agama.

Agama Kristen, masih menurut tokoh masyarakat itu, hanya diutus untuk Bani Israel (orang Israel) bukan untuk warga di sini, Kami hanya diam. Akhirnya, tokoh masyarakat itu mulai membuka beberapa kitab suci agama yang kami miliki, dari berbagai versi. Satu per satu kelemahan Alkitab ia uraikan. la juga membahas buku Dialog Islam-Kristen antara K.H. Baharudin Mudhari di Madura dengan seorang pendeta.

Dialog antara kami dan tokoh masyarakat tersebut kemudian terhenti setelah terdengar azan maghrib. Kemudian kami kembali ke asrama sebelum kegiatan itu berlangsung sukses. Dialog dengan tokoh masyarakat tersebut terus membekas dalam pikiran saya.

Lalu, saya pun membaca buku Dialog Islam Kristen tersebut sampai 12 kali ulang. Lama-kelamaan buku itu menpengaruhi pikiran saya. Saya mulai jarang praktek mengajar selama tiga hari berturut-turut. Akhirnya, saya ditegur oleh pendeta. Pendeta itu rupanya tahu saya berdialog dengan seseorang yang mengerti Alkitab.

"Masa' kamu kalah sama orang yang hanya tahu kelemahan Alkitab. Padahal kamu telah belajar selama 3,5 tahun. Dan kamu juga pernah mengikuti kuliah seminari," katanya dengan nada menantang dan sinis.

Sejak peristiwa itu, saya jadi lebih banyak merenungkan kelemahan-kelemahan Alkitab. Benar juga apa yang dikatakan tokoh masyarakat itu tentang kelemahan kitab suci umat Kristen ini. Akhirnya saya putuskan untuk berhenti menjadi calon pendeta. Saya harus meninggalkan asrama.

Pada tengah malam, dengan tekad yang bulat saya lari meninggalkan asrama. Saya tak tahu harus ke mana. Jika pulang ke rumah, pasti saya disuruh balik ke asrama, dan tentu akan diinterogasi panjang lebar.

Kemudian saya pergi naik kendaraan, entah ke mana. Dalam pelarian itu saya berkenalan dengan seorang muslim yang berasal dari Pulau Jawa. Saya terangkan kepergian saya dan posisi saya yang dalam bahaya. Oleh orang itu, saya dibawa ke kota Jember, Jawa Timur.

Di sana saya tinggal selama satu tahun. Saya dianggap seperti saudaranya sendiri. Saya bekerja membantu mereka. Kerja apa saja. Dalam pelarian itu, saya sudah tidak lagi menjalankan ajaran agama yang saya anut. Rasanya, saya kehilangan pegangan hidup.

Selama tinggal di rumah orang muslim tersebut, saya merasa tenteram. Saya sangat kagum padanya. Ia tidak pernah mengajak, apalagi membujuk saya untuk memeluk agamanya. la sangat menghargai kebebasan beragama. Dari sinilah saya mulai tertarik pada ajaran Islam. Saya mulai bertanya tentang Islam kepadanya. Olehnya saya diajak untuk bertanya lebih jauh kepada para ulama. Saya diajak ke rumah seorang pimpinan Pondok Pesantren Rhoudhotul 'Ulum, yaitu K.H. Khotib Umar.

Kepada beliau saya utarakan keinginan untuk mengetahui lebih jauh tentang ajaran Islam. Dan saya jelaskan perihal agama dan kegiatan saya. Tak lupa pula saya jelaskan tentang keraguan saya pada isi Alkitab yang selama ini saya imani sebagai kitab suci, karena terdapat kontradiksi pada ayat-ayatnya. Setelah saya jelaskan kelemahan Alkitab secara panjang lebar, K.H. Khotib Umar tampak sangat terharu. Secara spontan beliau merangkul saya sambil berkata, "Anda adalah orang yang beruntung, karena Allah telah memberi pengetahuan pada Anda, sehingga Anda tahu bahwa Alkitab itu banyak kelemahannya."

Setelah itu beliau mengatakan, jika ingin mempelajari agama Islam secara utuh, itu memakan waktu lama. Sebab, ajaran Islam itu sangat luas cakupannya. Tapi yang terpenting, menurut beliau adalah dasar-dasar keimanan agama Islam, yang terangkum dalam rukun iman.

Dari uraian K.H. Khotib Umar tersebut saya melihat ada perbedaan yang sangat jauh antara agama Islam dan Kristen yang saya anut. Dalam agama Kristen, saya mengenal ada tiga Tuhan (dogma trinitas), yaitu Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Roh Kudus. Agama Kristen tidak mempercayai kerasulan Muhammad SAW, Bahkan, mereka menuduhnya tukang kawin. Mereka juga hanya percaya kepada tiga kitab suci, Taurat, Zabur, dan Injil.

Ajaran Kristen tidak mempercayai adanya siksa kubur, karena mereka berkeyakinan setiap orang Kristen pasti masuk surga. Yang terpenting bagi mereka adalah tentang penyaliban Yesus, yang pada hakekatnya Yesus disalib untuk menebus dosa manusia di dunia.

Penjelasan K.H. Khotib Umar ini sangat menyentuh hati saya. Penjelasan itu terus saya renungkan. Batin saya berkata, penjelasaan itu sangat cocok dengan hati nurani saya. Lalu, kembali saya bandingkan dengan agama Kristen. Ternyata agama Islam jauh lebih rasional (masuk di akal) daripada agama Kristen yang selama ini saya anut. Oleh karena itu saya berminat untuk memeluk agama Islam.

Keesokan harinya, saya pergi lagi ke rumah K.H. Khotib Umar untuk menyatakan niat masuk Islam. Beliau terkejut dengan pernyataan saya yang sangat cepat. Beliau bertanya, "Apakah sudah dipikirkan masak-masak?" "Sudah," suara saya meyakinkan dan menyatakan diri bahwa hati saya sudab mantap.

Lalu beliau membimbing saya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Sebelum ikrar saya ucapkan, beliau memberikan penjelasan dan nasehat. Di antaranya, "Sebenarnya saat ini Anda bukan masuk agama Islam, melainkan kembali kepada Islam. Karena dahulu pun Anda dilahirkan dalam keadaan Islam.

Lingkunganmulah yang menyesatkan kamu. Jadi, pada hakikatnya Islam adalah fitrah bagi setiap individu manusia. Artinya, keislaman manusia itu adalah sunnatullah, ketentuan Allah. Dan, menjauhi Islam itu merupakan tindakan irasional. Kembali kepada Islam berarti kembali kepada fitrahnya," ujar beliau panjang lebar. Saya amat terharu. Tanpa terasa air mata meleleh dari kedua mata saya.

Sehari setelah berikrar, saya pun dikhitan. Nama saya diganti menjadi Syamsul Arifin Nababan. Saya kemudian mendalami ajaran Islam kepada K.H. Khotib Umar dan menjadi santrinya. Setelah belajar beberapa tahun di pondok pesantren, saya amat rindu pada keluarga. Saya diizinkan pulang. Bahkan, beliau membekali uang Rp 10.000 untuk pulang ke Sumatera Utara.

Dengan bekal itu saya akhirnya berhasil sampai ke rumah orang tua. Dalam perjalanan, banyak kisah yang menarik yang menunjukkan kekuasaan Allah. Sampai di rumah, ibu, kakak, dan semua adik saya tidak lagi mengenali saya, karena saya mengenakan baju gamis dan bersorban. Lalu, saya terangkan bahwa saya adalah Bernard Nababan yang dulu kabur dari rumah. Saya jelaskan pula agama yang kini saya anut. Ibu saya amat kaget dan shock. Kakak-kakak saya amat marah. Akhirnya saya diusir dari rumah.

Usiran merekalah yang membuat saya tegar. Saya kemudian pergi ke beberapa kota untuk berdakwah. Alhamdulillah, dakwah-dakwah saya mendapat sambutan dari saudara kaum muslimin. Akhirnya saya terdampar di kota Jakarta. Aktivitas dakwah saya makin berkembang. Untuk mendalami ajaran-ajaran agama, saya pun aktif belajar di Ma'had al-Ulum al-Islamiyah wal abiyah atau UPIA Jakarta.



Sumber : Mualaf.com

Monday, September 30, 2013

Yusha Evans | Injil Membimbingku Menemukan Islam [VIDEO]

joshua evans salam dakwah

SALAM DAKWAH -- Ia terperangah dan terpesona dengan Alquran yang dibacanya. Yusha begitu yakin akan kebenaran yang tercantum dalam kitab suci itu.

Suatu hari di musim panas 1996. Yusha Evans, seorang misionaris muda kedatangan seorang teman bernama Benjamin. Ia tak pernah menyangka, kehadiran temannya itu bakal menggoyahkan imannya. Sebuah pertanyaan tak terduga yang dilontarkan temannya membuatnya melepaskan keyakinannya sebagai seorang Kristen.

‘’Apakah kau pernah membaca seluruh isi Alkitab?’’ Tanya Benjamin.

‘’Apa maksudmu? Saya seorang misionaris Kristen dan bagaimana mungkin kau bertanya seperti itu padaku?’’ cetus Yusha.

‘’Apakah kau pernah membaca Alkitab seperti membaca sebuah novel: mengetahui tokoh-tokoh yang ada di dalamnya, mengetahui plot dan tempatnya serta tahu seluruh detail isinya?’’

Yusha mengaku tak pernah membaca Alkitab dengan cara itu. Lalu Benjamin menantangnya untuk membaca kembali Alkitab dari awal hingga akhir. Ia memintanya untuk membaca Alkitab selama beberapa bulan dan tidak menyentuh buku lain, kecuali Alkitab.

Maka mulailah Yusha membaca Alkitab dari Kejadian 1:1. Ia sangat tertarik dengan kisah para nabi. Dalam Alkitab, dikisahkan bahwa Nabi Nuh menyampaikan wahyu Allah, tapi tidak ada satupun umatnya yang mengikuti seruannya. Lalu Allah menghukum umat Nabi Nuh dengan mendatangkan banjir besar, dan hanya Nabi Nuh serta orang-orang yang naik ke kapal saja yang selamat.

Setelah banjir, seperti dikisahkan dalam Alkitab, Nabi Nuh  meminum anggur dan keluar dalam keadaan mabuk. Yusha mengaku sangat heran, mengapa Nuh seorang utusan Tuhan bisa bersikap seperti itu.

‘’Tidak mungkin seorang nabi bersikap seperti itu. Maka saya tahu mengapa umat Nabi Nuh tidak mendengarkan apa yang ia sampaikan, karena ia mabuk,” kata Yusha kecewa.

Yusha kembali melanjutkan bacaannya. Semakin dalam membaca, kian banyak ia  menemukan kesenjangan dalam Alkitab. Beberapa kisah nabi yang dibacanya justru tak mencerminkan nabi itu sebagai utusan Tuhan. Mereka malah seperti pelaku kriminal, yang justru dicari-cari polisi.

Ia pun amat penasaran. Yusha lalu bertanya kepada pendeta di gereja tempat melakukan misa. Ia mempertanyakan banyak hal. Namun Yusha tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Para pendeta yang ditemuinya berkata, ‘’Janganlah ilmu pengetahuan yang sedikit mempengaruhi keyakinannya terhadap Yesus.’’

Yusha diminta agar tidak perlu mempelajari segala hal. Ia diminta hanya cukup percaya saja pada apa yang diajarkan. Sejumlah pendeta memintanya agar tidak membaca Perjanjian Lama. Alasannya, Alkitab tersebut sudah tidak lagi terpakai. Mereka  memintanya untuk membaca Perjanjian Baru.

Di dalam Perjanjian Baru, Yusha menemukan sebuah ayat yang menyebut bahwa Yesus berkata Tuhan itu satu. Dan hal tersebut terus diulang-ulang di ayat dan surat berikutnya dengan cara yang berbeda. Sama seperti ajaran Musa dalam 10 Perintah Allah, hal pertama yang diperintahkan adalah menyembah Allah dan tidak ada yang lain.

Yusha lalu mencari tahu mengenai Yesus. Ia menemukan ayat yang menyebutkan bahwa Yesus memerintahkan hal yang sama: menyembah satu Tuhan. Rasa penasarannya semakin menggebu. Ia pun mulai mempertanyakan tentang penyaliban Yesus. Dalam ajaran yang ia terima, Yesus dipaku pada bagian tangannya.

Dalam hatinya muncul kegamangan. Yusha berpendapat, hal tersebut sangatlah konyol. Seseorang yang telapak tangannya disalib tidak akan bertahan lama di atas tiang. Ia pun menyampaikan pendapatnya itu kepada para pendeta. Alih-alih mendapatkan jawaban, ia justru dilarang untuk melakukan khutbah Kristen di gerejanya.

Saat kondisi imannya sedang goyah, Benjamin kembali menemui Yusha. ‘’Aku telah membaca Alkitab berulang kali. Alkitab itu pula dicetak berulang kali, namun selalu masih saja ada salah penulisan. Padahal, Tuhan itu sempurna. Ciptaannya pun sempurna dan kitabnya juga haruslah sempurna,’’ ujar Benjamin.

Sejak hari itu, Yusha melepas Kristen sebagai agama yang diyakininya. Ia memutuskan meninggalkan agamanya dan memilih untuk mencari agama lain. Ia mempelajari Buddha dan beberapa agama lain, termasuk Islam. Yusha juga sempat membaca sebuah buku tentang Islam, tetapi hal itu tidak membuatnya senang. Ia akhirnya tidak mengikuti satu agama dunia pun.

‘’Tuhan, jika Engkau tidak memberi saya petunjuk, maka saya akan mencari jalan sendiri,’’ Yusha memanjatkan sebuah doa. Saat itu, ia berusia 17 tahun.

Yusha Evans lahir dan besar di South Carolina, Amerika Serikat.  Ia dibesarkan oleh kakek (Indian Amerika) dan nenek (Irlandia) yang sangat konservatif. Kakek dan neneknya selalu mengajarkannya berdoa sebelum makan, sebelum tidur, tidak boleh menyalakan musik keras-keras, tidak membawa perempuan ke rumah.

‘’Itu yang saya pelajari di sekolah Minggu,’’ ujar Yusha. Masa kecilnya dihabiskan bersama nenek dan kakeknya. Menginjak usia 14 tahun, neneknya mengajak Yusha ke sebuah pelayanan Sabtu yang benar-benar berbeda dengan apa yang dialaminya di sekolah Minggu.

Di sana mereka bermain bola, voli, basket. Di pelayanan Sabtu, Yusha juga menemukan banyak makanan, kue, dan permen. Di akhir pertemuan, pastor yang memimpin acara itu mulai memberikan pengajaran tentang agama. Ia sangat menyukainya, karena tempat itu seperti sekolah normal.

Ketika berumur 15 tahun,  nenek Yusha meminta pastor muda yang biasa melayaninya di gereja untuk mengantarkan cucu kesayangannya itu ke sekolah. Yusha belum memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM), sehingga belum boleh mengendarai mobil sendirian. Pastor yang usianya tiga tahun lebih tua dari Yusha itu menjadi teman baiknya.

****

Bersama pastor muda itu, Yusha diajak ke sebuah perkumpulan remaja yang bernama “Kehidupan Remaja”. Perkumpulan ini tidak seperti perkumpulan biasanya. ‘’Kelompok itu seperti yang kau lihat di televisi. Ada orang bernyanyi dan bermain gitar. Khutbah yang dilakukan dalam kelompok itu tidak seperti khutbah yang ada gereja. Dalam menyampaikan khotbahnya, ia (pastor) berteriak-teriak dan menyampaikannya dengan lantang langsung ke orang-orang.’’

Hal ini sangat menarik bagi Yusha. Mereka mengajarkan Kristen dengan cara yang berbeda dari yang dipelajari saat masih kecil. Menginjak usia 16 tahun,  ia sudah tahu apa yang diinginkannya. Yusha ingin menjadi seorang misionaris. Sebagai seorang yang perfeksionis, ia ingin mendalami Kristen secara utuh. Ketika ia ingin sesuatu, maka apa yang ia lakukan harus terselesaikan.

Pada suatu hari, Yusha pergi ke New York bersama beberapa temannya. Di kota terbesar di dunia itu,  ia kehabisan uang dan memutuskan untuk mengambil uang dari sebuah mesin anjungan tunai mandiri (ATM). Ketika mengambil uang, ia dirampok oleh orang-orang bersenjata.

Kejadian itu membuatnya sangat takut, sehingga hari itu juga  Yusha kembali ke rumah neneknya. Ia tidak menceritakan peristiwa yang menimpanya kepada sang nenek. Ia menyimpannya, sampai akhirnya mendapatkan mimpi buruk.

Dalam mimpi itu, orang yang merampoknya di ATM menembaknya hingga mati. Lalu, ia melihat sesuatu tengah menantinya disisi lain kehidupan. Ia tidak mengetahuinya.Yusha sangat ketakutan. Ia terbangun dari mimpinya sambil berteriak.

Sang nenek datang dan bertanya, ‘’Mengapa kau berteriak? Lalu, Yusha menceritakan segalanya, tentang perampokan dan mimpi yang dialaminya.

‘’Tuhan mempunyai satu rencana untukmu, percayalah,’’ ujar sang nenek.

‘’Lalu apa yang harus kulakukan?” tanyanya.

“Kau harus kembali pada-Nya. Kau harus mencari-Nya.” 

Yusha pun linglung. Ia sudah mencari Tuhan kemana-mana, namun tidak menemukannya. Neneknya berkata, ‘’Tuhan tidak akan pergi kemana-mana, kau hanya perlu menemukannya.’’ Sang nenek tidak menyuruhnya untuk kembali ke gereja, hanya memintanya untuk mencari Tuhan.

Yusha mulai menjadi agnostik: mempercayai adanya Tuhan, namun tidak menganut agama apapun. Ia melakukan doa dengan caranya sendiri. Ia merasa jenuh dengan hal tersebut dan akhirnya memohon pada Tuhan, “Kalau Engkau ingin aku mengenal-Mu, maka bimbinglah aku.”

Sejak saat itu, ia tidak mau mendengar lagi apa yang harus dipercayainya. Tusha ingin melihat apa yang harus dipercayainya. Ia telah membaca banyak buku dan kitab agama lain, namun tidak satu pun yang sesuai dengan apa yang dipercayai olehnya. 

Sampai pada suatu hari, Yusha berkunjung ke rumah seorang temannya bernama Musa yang beragama Islam. Selama bertahun-tahun Yusha mengenalnya, ia sama sekali tidak menyadari kalau temannya itu adalah seorang Muslim. Dalam pertemuan itu, mereka membicarakan tentang agama. Dari situlah, Yusha berkenalan dengan Islam yang sebenarnya.

Karena tidak mempercayai adanya komunitas Islam di lingkungannya, teman Afro-Amerika yang Muslim itu mengajak Yusha ke masjid, sebuah tempat yang tepat untuk menanyakan tentang Islam. Yusha selama ini tidak pernah menyadari bahwa di lingkungannya terdapat masjid. Apalagi letaknya tidak jauh dari gereja.

Ia lalu berkunjung ke masjid. Saat sedang menunggu Musa, seorang lelaki mendekatinya dan bertanya, ‘’ Apa yang sedang kau lakukan di sini?’’

‘’Aku sedang menunggu Musa.’’

‘’Musa tidak terlalu sering datang ke masjid. Namun, jika kau ingin melihat masjid, saya dengan senang hati akan mengantarkanmu.’’

Awalnya. Yusha merasa takut. Tak pernah terpikirkan dalam benaknya untuk masuk ke masjid. Selama ini, pikirannya tentang Islam sangat buruk, namun pria itu memperlakukannya dengan sangat baik.

Ia pun masuk ke dalam masjid tersebut dan mendengarkan khutbah. Awalnya, ia berpikir bahwa lafal ayat-ayat dalam bahasa Arab yang disampaikan khatib bermaksud untuk membunuhnya. Namun, ketika khatib tersebut menerjemahkan kalimat-kalimat Arabnya, Yusha menyadari apa yang dikatakan khatib itu adalah tentang menyembah Tuhan yang satu.

Usai shalat Jumat, ia menemui khatib dan bertanya, ‘’Apa yang barusan kalian lakukan tadi?’’

‘’Tadi kami melaksanakan shalat, menyembah Allah.’’

Ketika sang khatib hendak menjelaskan kepada Yusha tentang Islam, ia segera memotongnya, ’’Saya tidak ingin penjelasan. Saya ingin bukti. Apabila memang agama Anda benar, maka buktikanlah.’’

Kakeknya pernah berkata pada Yusha. Ketika orang mengklaim sesuatu itu benar, maka perlu pembuktian. Karena Yusha meminta bukti pada khatib, ia lalu diajak ke ruangannya. Khatib itu memberikannya Alquran, kitab suci umat Islam. Lalu Yusha membawanya pulang dan membacanya.

Ia terperangah dan terpesona dengan Alquran yang dibacanya. Selama tiga hari, ia tidak dapat berhenti membacanya. Ia begitu meyakini kebenaran yang tercantum dalam Alquran. Hidayah Allah SWT memancar dalam kalbunya. Yusha pun bertekad untuk menjadi seorang Muslim.

Yusha kembali ke masjid dan menemui sang khatib. Lalu ia berkata, ’’Saya ingin menjadi Muslim.”

‘’Kau harus memahami satu hal lain apabila ingin menjadi seorang Muslim. Anda harus tahu tentang Nabi Muhammad SAW.’’

Yusha pun membaca tentang kisah Nabi Muhammad. Ia pun meyakini Muhammad sebagai utusan Allah. Pada Desember 1998,  Yusha yang bernama asli Joshua akhirnya memeluk Islam. ‘’Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah. Aku juga bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah.’’

Sejak itu, ia mempelajari Islam dari sejumlah ulama di Mesir dan Amerika Serikat.  Kini, Yusha menjadi seorang dai dan penceramah. Umat Islam di negeri Paman Sam memanggilnya, Syekh Yusha Evans. Ia berkhidmat di jalan Allah SWT, dengan menyebarkan ajaran Islam.

Berikut video yang menceritakan kisah perjalanan Syekh Yusha Evans dalam menemukan Islam.

Sunday, September 22, 2013

Mustafa Davis: Memeluk Islam Setelah Membaca Surah Maryam

mustafa davis
Mustafa Davis (kiri)
SALAM DAKWAH -- Mustafa Davis lahir dan dibesarkan di wilayah teluk di Kalifornia Utara. Ia kini dikenal sebagai pembuat film dan seniman dunia. Sebagai seniman, Davis mencintai keindahan. Dan keindahan paling indah di matanya adalah senyum seorang pria sederhana yang tulus, yang membawanya pada Islam 16 tahun lalu.

Semua berawal pada suatu Rabu di bulan Mei 1996, Davis bertemu dengan seorang teman dalam perjalanannya menuju kampus. Belakangan Davis tahu ia dan pria bernama Whitney Canon itu belajar dalam kelas bahasa Prancis yang sama. Lalu, mengetahui bahwa Whitney adalah seorang seniman dan musisi sepertinya, Davis kerap menghabiskan waktu bersamanya setelah itu, terutama di ruang piano di aula musik kampusnya.

Selama satu semester, dengan cara menyelinap, ia dan Whitney menghabiskan waktu di ruangan itu, lalu bermain musik atau berbincang tentang persoaalan kerohanian di sana. Pada suatu Rabu di tahun yang sama, bersama salah seorang temannya, Whitney Canon (kini Muslim), Davis sedang menyantap sushi di sebuah restoran Jepang dekat kampus. Dalam kesempatan itu, Davis menyampaikan sebuah pengakuan bahwa dirinya lelah dengan kehidupan yang dijalaninya.

"Aku ingin mengembalikan hidupku pada jalurnya," tulisnya dalam sebuah note dalam akun Facebook-nya, Becoming Muslim in America (dipublikasikan kembali oleh isamicsunrays.com dalam artikel berjudul Becoming Muslim: Five Words That Changed My Life). Menurut Davis, gaya hidupnya kala itu menjauhkannya dari kesuksesan, dan hanya agama yang mungkin mengubah hidupnya. "Aku harus kembali ke gereja," ujar mantan pemeluk Katolik ini.

Tiba-tiba Whitney bertanya apakah dirinya pernah berpikir tentang Islam. Davis menjawab “tidak” dan mengatakan pada Whitney bahwa Islam adalah agama Arab atau gerakan separatis bangsa kulit hitam. Dari banyak informasi dan peristiwa, Davis hanya memiliki stigma negatif tentang agama itu dalam otaknya. “Selain itu, aku belum pernah melihat Muslim yang baik dan taat waktu itu,” katanya.

Mendapati respons negatif dari Davis, Whitney kemudian bercerita tentang kakak laki-lakinya yang masuk Islam. Dari kakaknya, Whitney (yang saat itu belum menjadi Muslim) mengatakan bahwa Islam  bukan hanya untuk Arab serta merupakan agama yang universal. Whitney lalu melontarkan pertanyaan baru pada Davis, “Apakah kamu mengetahui Muhammad?”

Davis mengaku hanya mengetahui satu orang dengan nama Muhammad, yakni Elijah Muhammad (salah satu pemimpin utama di Nation of Islam). Whitney lalu menjelaskan hanya ada seorang pria bernama Muhammad yang merupakan nabi asal Arab yang sesungguhnya. “Kau harus mengenalnya,” kata Whitney.

Mendengar kata “Arab,” Davis tak tertarik untuk masuk ke dalam perbincangan yang lebih jauh tentang Islam. Ia kemudian mengakhiri perbincangan itu dan beranjak menuju tempat kerjanya, karena Davis bekerja pada malam hari.

Pulang dari tempat kerjanya, Davis singgah ke sebuah toko buku untuk membeli Bibel. Saat melewati deretan rak bertema “Filosofi Timur,” pandangan Davis tiba-tiba tertuju pada sebuah buku berwarna hijau. Nama “MUHAMMAD” tertulis dengan huruf timbul berwarna emas di sampulnya. “Aku menghentikan langkahku, berpikir sejenak, dan mengambil buku itu dari rak,” katanya.

Rasa ingin tahu Davis tergugah saat membaca judul kecil di bawah tulisan MUHAMMAD; Kehidupannya berdasarkan Sumber Paling Awal. “Kata “sumber paling awal” menggelitikku karena aku sangat mengetahui adanya debat teologis tentang sejumlah kesalahan yang ditemukan dalam Bibel. Fakta itu menggangguku,” kata pendiri Cinemotion Media dan Mustava Davis Incorporation ini.

Davis membuka buku itu dan dengan susah payah mencoba membaca banyak kata dalam ejaan Arab. “Empat atau lima kalimat yang kubaca menyebut kata “Alquran” beberapa kali,” katanya. Ejaan-ejaan Arab yang menyulitkan itu lalu dirasanya membenarkan pemahamannya bahwa Islam adalah agama orang Arab. Maka Davis mengembalikan buku itu ke rak.

Saat beranjak meninggalkannya, tulisan emas di sampul buku itu kembali menarik pandangan Davis sehingga ia kembali melihat ke arah buku tersebut. Saat itu, ia melihat sebuah buku lain berjudul The Quran, dan teringat pada beberapa kata yang baru ia baca dalam buku berjudul Muhammad.

Setelah mengambil dan membukanya secara acak, Davis berhadapan dengan halaman pertama Surah Maryam. “Aku membaca surah itu dari awal hingga akhir dan merasakan tubuhku menggigil saat membaca penjelasan detail tentang kelahiran Nabi Yesus (Isa as) yang menakjubkan,” ujarnya.

“Aku tak menyangka bahwa Muslim mempercayai kelahiran yang menakjubkan itu, dan bahwa mereka tak mempercayai Yesus sebagai anak Tuhan. Sebagai seorang Kristen, aku tak pernah bisa menerima pernyataan bahwa Tuhan mempunyai anak,” tambahnya. Davis menangis dengan terjemahan Alquran di tangannya. Ia memutuskan membeli kitab itu, lupa dengan tujuannya membeli Bibel, dan meninggalkan toko buku itu.

Keesokannya, Kamis pagi, saat berjalan menuju kampusnya, Davis melewati stan kecil milik seorang pria Senegal yang menjual kerajinan, dompet, dan boneka Afrika. Ia sibuk dengan seorang pembeli saat Davis menghampiri stannya dan melihat-lihat sebuah dompet. Ketika pelanggannya itu pergi, pria kulit hitam itu menghampiri Davis sambil tersenyum ramah.

“Senyumnya itu adalah sesuatu yang tidak pernah kutemukan sebelumnya. Aku hanya bisa menggambarkan bahwa senyum itu penuh dengan cahaya dan cinta,” Davis menulis dengan penuh ketakjuban.

Pria bernama Khadim itu menyapa Davis, “Hai, saudaraku, apa kabar?” dan melanjutkan dengan sebuah pertanyaan lain setelah Davis menjawabnya, “Saudaraku, apakah kamu seorang Muslim? Kamu terlihat seperti seorang Muslim.”

khadimBelum habis kekagumannya dengan senyum Khadim, Davis dibuat terkejut dengan pertanyaan itu. Ia menjawab bahwa dirinya bukan seorang Muslim, namun baru membeli Alquran pada malam sebelum mereka bertemu. Senyum Khadim berkembang. Ia menghampiri Davis dan memberinya pelukan sambil terus berkata, “Ini sangat indah, saudaraku. Ini hebat. Aku bahagia untukmu. Ini adalah pertanda dari Allah. Kamu membuatku sangat bahagia, saudaraku.”

Ketakjuban Davis belum berakhir. Saat memasuki waktu Zuhur, Khadim meminta bantuannya untuk menjaga stan miliknya selama ia shalat. Davis bersedia dan melewatkan dua kelas hari itu. “Aku belum pernah menemukan orang setulus dia, yang tersenyum padaku, memelukku, dan mengatakan dirinya berbahagia untukku.”

Saat bersama Khadim itulah, seorang mahasiswa Pakistan menghampiri dan menyapa pria Senegal itu. Seperti Khadim, ia mengira Davis seorang Muslim, dan gembira saat mendengar Davis telah membaca Alquran. Ia lalu menawari menawarkan dirinya untuk menemani Davis melihat-lihat masjid. Dan Davis menerima tawarannya.

Keesokan harinya, mahasiswa itu menjemput Davis dan membawanya ke sebuah masjid milik Asosiasi Komunitas Muslim di Santa Clara Kalifornia setelah terlebih dulu ia mengajak Davis makan siang di rumahnya. Saat tiba di masjid, Davis disambut sekitar 40 pria yang menyapanya sambil tersenyum.

Setelah duduk dan bergabung dengan pria-pria tersebut, Davis ditanya apakah ia mengetahui sesuatu tentang Islam. Ia menceritakan Alquran yang dibelinya dan menyampaikan hal-hal tentang Islam yang diketahuinya melalui kitab tersebut. “Lalu seorang di antara mereka bertanya apakah aku mempercayai Nabi Muhammad dan tanpa ragu kujawab ‘Ya.’ Aku ditanya apakah aku percaya bahwa Yesus adalah Tuhan atau anak Tuhan, kujawab ‘Tidak’

Ia lalu menjelaskan banyak hal tentang Islam pada Davis; malaikat, kitab-kitab Allah, hari penghakiman (yaumul hisab), dan banyak lainnya. Setelah memberikan penjelasan itu, ia bertanya apakah Davis mempercayai semua itu. Davis kembali menjawab “Ya,” lalu pria itu berkata, “Itu adalah apa yang dipercayai oleh Muslim dan kamu mempercayainya. Maka apakah kamu ingin menjadi seorang Muslim?”

Davis kembali menjawab ‘Ya’ tanpa keraguan sedikitpun. Pria itu lalu membimbingnya membaca syahadat. “Aku ingat, hari itu tanggal 17 Ramadhan 1416 H,” ujarnya.

Sumber : Republika.co.idislamicsunrays.com