Showing posts with label hikmah. Show all posts
Showing posts with label hikmah. Show all posts

Friday, October 4, 2013

Bahaya Tamak

bahaya tamak

SALAM DAKWAH -- Hati-hati dengan sifat tamak atau rakus. Tamak harta melahirkan dosa; menipu, mencuri, merampok, korupsi dan kikir alias bakhil bin medit. 

Tamak dengan wanita juga bisa berbahaya; padahal sudah ada di rumah yang halal; karena ia rakus, diterabaslah rambu syar'i; akhirnya ia zina dan menumpuk kebohongan yang satu ke kebohongan yang lain. 

Tamak akan kekuasaan juga lebih dahsyat dampaknya! Akan tumbuh kembang kezaliman yang menumbuh-subur praktik oligarki, kolusi, berkuasa dengan tangan besi, menghalalkan segala cara; sikut-sikutan dengan yang dulu padahal teman dan kerabat, bahkan saling jegal-menjatuhkan serta tidak sedikit saling angkat parang dan pistol kemudian saling bunuh; menjilat yang di atas; menyikut yang di samping; menginjak yang di bawah. 

Hmm, ngeri bukan bahaya sifat tamak ini? Meski ada pula tamak yang halus lagi indah bahkan akan membuat pesona dengan celetar yang membahana terutama bagi para Penghuni langit! Apa itu? Ya, tamak akan ilmu dan rahmat-Nya.

Tamak ilmu mengangkat derajat dan kelas kita di hadapan Allah (QS. Al Mujadilah [58]: 11); tamak rahmat-Nya, insya Allah menaburkan kasih-sayang yang menyemesta (QS al-Furqan[ 25]: 63-77).

Dalam kajian tashawwuf lawan kata tamak adalah qonaah (menerima dengan lapang dada). Jika tamak adalah yang tumbuh dari akar hati yang buruk maka qonaah adalah yang tumbuh karena hati yang baik. 

Secara bahasa tamak berarti rakus hatinya. Sedang menurut istilah tamak adalah cinta kepada dunia (harta) terlalu berlebihan tanpa memperhatikan hukum haram yang mengakibatkan adanya dosa besar. 

Sifat ini dijelaskan oleh Syeikh Ahmad Rifai dalam Riayah Akhir sebagai sebab timbulnya rasa dengki, hasud, permusuhan dan perbuatan keji dan mungkar lainnya, yang kemudian pada penghujungnya mengakibatkan manusia lupa kepada Allah SWT, kehidupan akhirat serta menjauhi kewajiban agama.

Sifat rakus terhadap dunia menyebabkan manusia menjadi hina, sifat ini digambarkan oleh beliau seperti orang yang haus yang hendak minum air laut, semakin banyak ia meminum air laut, semakin bertambah rasa dahaganya.

Maksudnya, bertambahnya harta tidak akan menghasilkan kepuasan hidup karena keberhasilan dalam mengumpulkan harta akan menimbulkan harapan untuk mendapatkan harta benda baru yang lebih banyak. 

Tabiat orang tamak senantiasa lapar dan dahaga dengan urusan dunia. Makin banyak yang diperoleh dan menjadi miliknya, semakin rasa lapar dan dahaga untuk mendapatkan lebih banyak lagi. 

Jadi, mereka sebenarnya tidak dapat menikmati kebaikan dari apa yang dimiliki, tetapi sebaliknya menjadi satu beban hidup. Semoga Allah jauhkan kita dari sifat menghina-hancurkan ini. Wallahu A’lam.



Saturday, September 28, 2013

Manusia Bukanlah Malaikat

maafSALAM DAKWAH -- Siapa pun bisa melakukan kesalahan kepada sesamanya. Jika hal itu terjadi, sikap terbaik yang diajarkan Rasulullah SAW adalah segera meminta maaf. Itulah yang dilakukan Abu Badzar terhadap Bilal (semoga Allah meridoi mereka) dalam kisah berikut.

Pada suatu hari, Abu Dzar Al-Ghifari terlibat percekcokan dengan Bilal. Karena kesal, Abu Dzar berkata, “Engkau juga menyalahkanku wahai anak perempuan hitam?”

Mendengar dirinya disebut dengan anak perempuan hitam, Bilal tersinggung, sedih, dan marah. Ia kemudian melaporkan hal itu kepada Rasulullah SAW. Beliau kemudian menasihati Abu Dzar, “Hai Abu Dzar, benarkah engkau mencela Bilal dengan (menghinakan) ibunya? Sungguh dalam dirimu ada perilaku jahiliyah.”

Mendengar nasihat Rasulullah SAW itu, Abu Dzar tersadar dari kesalahannya. Segera ia menemui Bilal. Abu Dzar kemudian meletakkan pipinya di tanah seraya mengatakan, “Aku tidak akan mengangkat pipiku dari tanah hingga kau injak pipiku ini agar engkau memaafkanku.”

Namun Bilal tidak memanfaatkan momentum ini untuk membalas dendam. Bilal malah berkata, “Berdirilah engkau, aku sudah memaafkanmu.” Begitulah Abu Dzar dengan mudah dan berani mengakui kesalahan yang ia lakukan bukan dengan sengaja untuk menghinakan Bilal.

Sikap seperti itulah yang seharusnya ada pada diri kita saat kita berinterkasi dengan pihak lain, terutama orang-orang terdekat kita seperti suami, isteri, anak, orangtua, saudara, dan seterusnya.

Sumber : fiqihislam.com

Thursday, September 26, 2013

Kemengertian Allah

kemengertian Allah

Diwajibkan atasmu jihad dan jihad itu berat bagimu. Bisa jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal itu lebih baik bagimu. Bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah Maha Mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS al-Baqarah: 216).

SALAM DAKWAH -- Manusia sering merasa mengerti seutuhnya diri mereka dan mengetahui kebutuhan hidupnya sehingga akal dan perasaan mereka jadi tolak ukur untuk memenuhi kepentingannya itu.

Apa yang dianggap baik oleh akal dan perasaan, itulah yang terbaik. Lalu, apa yang dianggap buruk maka itulah pilihan buruk baginya.

Sesungguhnya, Islam tidak mengajarkan demikian. Standar baik dan buruk itu bukan saja otoritas akal dan perasaan. Positif dan negatif atau baik buruknya sesuatu itu sepenuhnya urusan Allah.

Akal dan perasaan tidak bisa jadi hakim satu-satunya. Sebab, wahyulah yang akan menuntun akal dan perasaan itu menilai baik atau tidaknya suatu perbuatan agar kehidupan tidak merugi.

Misalnya, seperti kasus di atas. Jihad sebagai sebuah kewajiban terhadap agama memang perintah yang sangat berat. Di dalam jihad (perang), ada mobilisasi massa dan pengumpulan dana besar.

Jihad membuat seseorang berpisah dengan keluarga dan daerah asal. Akibat jihad, anggota tubuh mengalami luka, teramputasi, bahkan nyawa melayang.

Namun, di balik seruan itu dan berkat amaliah jihad, negeri terbebas dari kezaliman.  Harta dan harga diri manusia terjaga. Belum lagi pahala yang besar di akhirat, bahkan bagi yang wafat digelari syuhada.

Banyak hal dalam perintah agama yang tidak sesuai dengan selera manusia. Ibadah-ibadah yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas keimanan sudah banyak ditinggalkan manusia.

Jangankan berjihad, shalat atau puasa saja terasa berat bagi sebagian orang. Perkara ibadah sudah dianggap memberatkan. Manusia lebih suka bersantai-santai memuaskan selera hidup dan berlepas diri dari segala aturan yang membelenggu kebebasannya.

Segala sesuatu yang diperintahkan Allah pasti memiliki maslahat besar di dalamnya. Adapun segala sesuatu yang dilarang Allah pasti mengandung mudarat yang berbahaya. Maslahat atau mudarat itu berefek bagi jasmani atau rohani, bahkan bisa pada keduanya sekaligus.


Allah SWT mengatur segala sesuatu ini dengan ilmu-Nya. Ilmu Allah itu tidak selalu sesuai dengan keinginan kita. Namun, Kemengertian dan Kemahatahuan Allah itu di atas segala sesuatu.

Allah SWT itu lebih mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya melebihi pengetahuan hamba itu terhadap dirinya sendiri.

Muadz bin Jabal RA berkata, “Jika seorang Mukmin diuji dengan sakit, dikatakan kepada malaikat sebelah kiri, 'Angkat penamu!' Dikatakan pula kepada malaikat sebelah kanan, 'Tulislah untuk hamba-Ku sebaik amal yang dia kerjakan saat sehatnya.'”

Allah telah mencukupi kita dengan berbagai macam hal dalam hidup ini. Dia memberi melebihi yang kita minta. Dia mencukupi di luar kebutuhan kita. Dia memuluskan langkah-langkah kita.


Dia menutupi kekurangan-kekurangan kita rapat-rapat. Bahkan, Dia mengampuni dosa-dosa kita meskipun dengan amal kita yang sedikit.

Yang Allah minta hanyalah agar kita pandai bersyukur. Syukuri segala keadaan dan gunakan segala fasilitas dari Allah di jalan yang diridhaiNya.

Demikianlah banyak hikmah positif di balik setiap kondisi kita. Kemengertian Allah atas hamba-Nya tidak bisa dimungkiri.

Seorang hamba hanya perlu bersyukur pada keadaannya dan berpikir positif (husnudzan) pada Allah. Kondisi di mana kita berada saat ini menunjukkan itulah yang terbaik bagi kita menurut ilmu Allah.

Sumber : Republika.co.id

Sunday, September 22, 2013

Kufur Nikmat

kufur nikmat

SALAM DAKWAH -- Menyaksikan kedua telapak kaki Rasulullah pecah-pecah akibat terlalu lama melakukan shalat malam, Aisyah bertanya, “Kenapa engkau melakukan yang demikian, Wahai Rasulullah, padahal Allah sudah mengampuni segala dosamu yang telah lampau dan akan datang?” Beliau menjawab, “Tidak pantaskah aku menjadi hamba yang banyak bersyukur.” (HR Bukhari dan Muslim).

Hadis ini cukup populer. Rasulullah SAW (571-632 M) gamblang menegaskan tentang pentingnya bersyukur. Tentu bersyukur merupakan kewajiban bagi kaum beriman. Mari renungkan sejenak nikmat Allah yang selama ini kita terima. Tidak usah seluruhnya. Cukup nikmat buang angin saja. Seorang teman harus menghabiskan uang jutaan rupiah untuk biaya operasi hanya gara-gara tiga hari tidak bisa buang angin.

Itu baru soal buang angin. Padahal sepanjang hidup ini, jutaan aktivitas lain harus kita tunaikan. Semua itu ternyata tidak dipungut harga alias gratis. Sebab itu, Allah hanya memberikan kita dua pilihan. Jika tidak mau bersyukur, berarti kita kufur. Tidak ada pilihan ketiga. “Sungguh Kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.” (QS Al-Insan: 3).

Betapa bodohnya kita apabila lebih memilih kufur ketimbang bersyukur. Pasalnya, Allah menjanjikan bertambahnya nikmat bagi mereka yang bersyukur dan menimpakan laknat bagi mereka yang kufur. Berulang kali ayat Al-Qur’an membeberkan kisah-kisah kaum dahulu yang dibinasakan Allah akibat mereka enggan bersyukur. Simak beberapa cuplikan kisah berikut.

Kaum Nabi Nuh (3993-3043 SM) disapu banjir super dahsyat. “Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan menurunkan air yang tercurah. Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air, maka bertemulah air-air itu untuk suatu urusan yang sungguh telah ditetapkan. Dan Kami angkut Nuh ke atas bahtera yang terbuat dari papan dan paku.” (QS Al-Qamar: 11-13).

Sejarawan memang berbeda pendapat, apakah bencana besar itu melanda seluruh dunia atau hanya terjadi pada wilayah tempat Nabi Nuh diutus. Yang jelas, semua sepakat bahwa banjir mengerikan itu datang akibat kaum Nabi Nuh selalu ingkar kepada Allah. Betapa tidak, lebih kurang 950 tahun Nabi Nuh berdakwah, tetapi pengikutnya hanya tujuh puluh orang dan delapan anggota keluarganya.

Kekufuran dan pembangkangan serupa juga dilakukan kaum Ad. Kaum Nabi Hud (2450-2320 SM) ini terkenal memiliki jasmani yang kuat. Berkat karunia Allah, kaum Ad hidup berselimut kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan. Peradaban mereka juga sangat maju. Tetapi mereka kufur dan angkuh, selalu menolak kebenaran, yang risikonya harus mereka bayar dengan sangat mahal.

Allah meniupkan badai topan diiringi gemuruh suara yang menggelegar. Hanya dalam hitungan hari, riwayat mereka tamat dengan sangat menyedihkan. “Allah menimpakan angin kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari secara terus menerus, maka kamu lihat kaum Ad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul pohon kurma yang telah lapuk.” (QS Al-Haqqah: 7).

Tidak kalah mengerikan lagi adalah azab yang diterima kaum Tsamud. Kaum yang tinggal di dataran Al-Hijir yang terletak di antara Hijaz dan Syam ini hidup dengan segala kemewahan dan kemakmuran sebagai warisan dari kaum Ad. Kaum Tsamud juga dikenal sebagai arsitektur dan entrepreneur ulung. Awal Juli 2008 lalu, UNESCO mengesahkan Madain Saleh, kota peninggalan mereka di 440 km arah utara Madinah itu, sebagai salah satu situs warisan dunia (World Heritage Site).

Sungguh sayang, mereka ingkar dan menentang dakwah Nabi Saleh (2150-2080 SM). Mereka bahkan berani membunuh unta betina yang merupakan mukjizat Nabi dan Rasul kelima itu. Hasilnya, mereka dihantam guntur dan gempa hebat. “Dan satu suara keras yang mengguntur menimpa orang-orang zalim itu, lalu mereka mati bergelimpangan di rumah mereka, seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. Ingatlah, sungguh kaum Tsamud itu mengingkari Tuhan mereka. Ingatlah, kebinasaanlah bagi kaum Tsamud.” (QS Hud: 67-68).

Tidak kalah tenar tentu kisah Fir’aun. Fir’aun adalah gelar untuk raja-raja Mesir purbakala. Menurut Al-Qur’an, terdapat dua gelar bagi raja Mesir kala itu: Fir’aun dan Malik. Fir’aun adalah gelar untuk raja Mesir zaman Nabi Musa (1527-1407 SM), sementara Malik adalah gelar raja Mesir zaman Nabi Yusuf (1745-1635 SM). Penelitian sejarah membuktikan, Fir’aun yang sangat memusuhi Nabi Musa adalah Minephtah (1232-1224 SM), putra Ramses II. Adapun Ramses II yang memerintah selama 68 tahun pada 1304-1237 SM itu adalah raja yang baik.

Fir’aun Minephtah dianugerahi kekuatan dan kekuasaan luar biasa. Tidak hanya kaya, dia bahkan tidak pernah sakit seumur hidup. Tetapi, jangankan bersyukur, Fir’aun Minephtah malah sangat sombong dan arogan, bahkan mengaku sebagai Tuhan. Tragis, Fir’aun Minephtah dan kroni-kroninya akhirnya dibenamkan Allah di dasar Laut Merah. Setelah ribuan tahun terkubur di laut, muminya ditemukan pada 1898 M oleh Loret di Thebes, di daerah Wadi Al-Muluk (lembah raja-raja). Kini, mumi Fir’aun Minephtah diawetkan di museum Mesir.

Jika mengacu isyarat Al-Qur’an, Allah memang sengaja menyelamatkan jasad Fir’aun Minephtah agar dapat menjadi pelajaran bagi manusia. “Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sungguh kebanyakan manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.” (QS Yunus: 92).

Masih banyak kisah-kisah kebinasaan kaum kufur nikmat dan penentang kebenaran yang dituturkan Allah dalam Al-Qur’an. Cukuplah beberapa penggalan kisah di atas sebagai bahan renungan. Sebagai kaum beriman, sepatutnya kita terus memanjatkan doa yang diajarkan Rasulullah, sebagaimana dikutip dalam riwayat Abu Dawud, “Wahai Tuhanku, bantulah aku untuk dapat senantiasa mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu.”

Sumber : Republika.co.id

Friday, September 20, 2013

Bosan Hidup

bosan hidupSALAM DAKWAH -- Seorang pria setengah baya mendatangi seorang guru ngaji, “Ustad, saya sudah Bosan Hidup. Sudah jenuh betul. Rumah tangga saya berantakan. Usaha saya kacau. Apapun yang saya lakukan selalu berantakan. Saya ingin mati.”

Sang Ustad pun tersenyum, “Oh, kamu sakit?”

“Tidak Ustad, saya tidak sakit. Saya sehat. Hanya jenuh dengan kehidupan. Itu sebabnya saya ingin mati.” 

Seolah-olah tidak mendengar pembelaannya, sang Ustad meneruskan, “Kamu sakit. Dan penyakitmu itu sebutannya, ‘Alergi Hidup’. Ya, kamu alergi terhadap kehidupan.” 

Banyak sekali di antara kita yang alergi terhadap kehidupan. Kemudian, tanpa disadari kita melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma kehidupan. Hidup ini berjalan terus. Sungai kehidupan mengalir terus, tetapi kita menginginkan status-quo. 

Kita berhenti di tempat, kita tidak ikut mengalir. Itu sebabnya kita jatuh sakit. Kita mengundang penyakit. Resistensi kita, penolakan kita untuk ikut mengalir bersama kehidupan membuat kita sakit.

Yang namanya usaha pasti ada pasang-surutnya. 

Dalam hal berumah-tangga, bentrokan-bentrokan kecil itu memang wajar, lumrah. Persahabatan pun tidak selalu langgeng, tidak abadi. Apa sih yang langgeng, yang abadi dalam hidup ini? Kita tidak menyadari sifat kehidupan. Kita ingin mempertahankan suatu keadaan. Kemudian kita gagal, kecewa dan menderita.

“Penyakitmu itu bisa disembuhkan, asal kamu ingin sembuh dan bersedia mengikuti petunjukku.” demikian ujar sang Ustad. 

“Tidak Ustad, tidak. Saya sudah betul-betul jenuh. Tidak, saya tidak ingin hidup.” pria itu menolak tawaran sang Ustad.

“Jadi kamu tidak ingin sembuh. Kamu betul-betul ingin mati?” 

“Ya, memang saya sudah bosan hidup.”

“Baik, besok sore kamu akan mati. Ambillah botol obat ini. Setengah botol diminum malam ini, setengah botol lagi besok sore jam enam, dan jam delapan malam kau akan mati dengan tenang.” 

Giliran dia menjadi bingung. Setiap Ustad yang ia datangi selama ini selalu berupaya untuk memberikannya semangat untuk hidup. Tapi ustadz yang satu ini aneh. Malah Ia bahkan menawarkan racun. Tetapi, karena ia memang sudah betul-betul jenuh, ia menerimanya dengan senang hati.

Pulang ke rumah, ia langsung menghabiskan setengah botol racun yang disebut “obat” oleh Ustad edan itu. Dan, ia merasakan ketenangan sebagaimana tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Begitu rileks, begitu santai. Tinggal 1 malam, 1 hari, dan ia akan mati. Ia akan terbebaskan dari segala macam masalah. 

Malam itu, ia memutuskan untuk makan malam bersama keluarga di restoran masakan Jepang. 

Sesuatu yang sudah tidak pernah ia lakukan selama beberapa tahun terakhir. Pikir-pikir malam terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis. Sambil makan, ia bersenda gurau. Suasananya santai banget! Sebelum tidur, ia mencium bibir istrinya dan membisiki di kupingnya, “Sayang, aku mencintaimu.” Karena malam itu adalah malam terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis. 

Esoknya bangun tidur, ia membuka jendela kamar dan melihat ke luar. Tiupan angin pagi menyegarkan tubuhnya. Dan ia tergoda untuk melakukan jalan pagi. Pulang kerumah setengah jam kemudian, ia menemukan istrinya masih tertidur. Tanpa membangunkannya, ia masuk dapur dan membuat 2 cangkir kopi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk istrinya.

Karena pagi itu adalah pagi terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis. Sang istripun merasa aneh sekali, “Mas, apa yang terjadi hari ini? Selama ini, mungkin aku salah. Maafkan aku, mas.” 

Di kantor, ia menyapa setiap orang, bersalaman dengan setiap orang.

Stafnya pun bingung, “Hari ini, Bos kita kok aneh ya?” 

Dan sikap mereka pun langsung berubah. Mereka pun menjadi lembut. Karena siang itu adalah siang terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis. Tiba-tiba, segala sesuatu di sekitarnya berubah. Ia menjadi ramah dan lebih toleran, bahkan apresiatif terhadap pendapat-pendapat yang berbeda. Tiba-tiba hidup menjadi indah. Ia mulai menikmatinya.

Pulang ke rumah jam 5 sore, ia menemukan istri tercinta menungguinya di beranda depan. Kali ini justru sang istri yang memberikan ciuman kepadanya, “Mas, sekali lagi aku minta maaf, kalau selama ini aku selalu merepotkan kamu.” 

Anak-anak pun tidak ingin ketinggalan, “Ayah, maafkan kami semua. Selama ini, ayah selalu stres karena perilaku kami semua.” 

Tiba-tiba, sungai kehidupannya mengalir kembali. Tiba-tiba, hidup menjadi sangat indah. Ia membatalkan niatnya untuk bunuh diri. Tetapi bagaimana dengan setengah botol yang sudah ia minum sore sebelumnya? 

"Ya Allah, apakah maut akan datang kepadaku. Tundalah kematian itu ya Allah. Aku takut sekali jika aku harus meninggalkan dunia ini”. 

Ia pun buru-buru mendatangi sang Ustad yang telah memberi racun kepadanya. 

Sesampainya dirumah ustad tersebut, pria itu langsung mengatakan bahwa ia akan membatalkan kematiannya. Karena ia takut sekali jika ia harus kembali kehilangan semua hal yang telah membuat dia menjadi hidup kembali.

Melihat wajah pria itu, rupanya sang Ustad langsung mengetahui apa yang telah terjadi, sang ustad pun berkata, “Buang saja botol itu. Isinya air biasa kok. Kau sudah sembuh, Apa bila kau hidup dalam kepasrahan, apabila kau hidup dengan kesadaran bahwa maut dapat menjemputmu kapan saja, maka kau akan menikmati setiap detik kehidupan. 

Leburkan egomu, keangkuhanmu, kesombonganmu. Jadilah lembut, selembut air. Dan mengalirlah bersama sungai kehidupan. Kau tidak akan jenuh, tidak akan bosan. Kau akan merasa hidup. Itulah rahasia kehidupan. Itulah kunci kebahagiaan. Itulah jalan menuju ketenangan. percayalah .. Allah bersama kita.” 

Lalu pria itu mengucapkan terima kasih dan menyalami Sang Ustad, lalu pulang ke rumah, untuk mengulangi pengalaman malam sebelumnya. Ah, indahnya dunia ini…

Abu Nawas Mencari Ibu dari Bayi

Ibu-dan-bayiSALAM DAKWAH -- Entah sudah berapa hari kasus seorang bayi yang diakui oleh dua orang ibu yang sama-sama ingin memiliki anak. Hakim rupanya mengalami kesulitan memutuskan dan menentukan perempuan yang mana sebenarnya yang menjadi ibu bayi itu. 

Karena kasus berlarut-larut, maka terpaksa hakim menghadap Baginda Raja untuk minta bantuan. Baginda pun turun tangan. Baginda memakai taktik rayuan. Baginda berpendapat mungkin dengan cara-cara yang halus salah satu, wanita itu ada yang mau mengalah. Tetapi kebijaksanaan Baginda Raja Harun Al Rasyid justru membuat kedua perempuan makin mati-matian saling mengaku bahwa bayi itu adalah anaknya. Baginda berputus asa. 

Mengingat tak ada cara-cara lain lagi yang bisa diterapkan Baginda memanggil Abu Nawas. Abu Nawas hadir menggantikan hakim. Abu Nawas tidak mau menjatuhkan putusan pada hari itu melainkan menunda sampai hari berikutnya. Semua yang hadir yakin Abu Nawas pasti sedang mencari akal seperti yang biasa dilakukan. Padahal penundaan itu hanya disebabkan algojo tidak ada di tempat.

Keesokan hari sidang pengadilan diteruskan lagi. Abu Nawas memanggil algojo dengan pedang di tangan. Abu Nawas memerintahkan agar bayi itu diletakkan di atas meja. 

“Apa yang akan kau perbuat terhadap bayi itu?” kata kedua perempuan itu saling memandang.

Kemudian Abu Nawas melanjutkan dialog. “Sebelum saya mengambil tindakan apakah salah satu dari kalian bersedia mengalah dan menyerahkan bayi itu kepada yang memang berhak memilikinya?” 

“Tidak, bayi itu adalah anakku.” kata kedua perempuan itu serentak.

“Baiklah, kalau kalian memang sungguh-sungguh sama menginginkan bayi itu dan tidak ada yang mau mengalah maka saya terpaksa membelah bayi itu menjadi dua sama rata.” kata Abu Nawas mengancam. 

Perempuan pertama girang bukan kepalang, sedangkan perempuan kedua menjerit-jerit histeris.

“Jangan, tolong jangan dibelah bayi itu. Biarlah aku rela bayi itu seutuhnya diserahkan kepada perempuan itu.” kata perempuan kedua. Abu Nawas tersenyum lega. Sekarang topeng mereka sudah terbuka. Abu Nawas segera mengambil bayi itu dan langsung menyerahkan kepada perempuan kedua. 

Abu Nawas minta agar perempuan pertama dihukum sesuai dengan perbuatannya. Karena tak ada ibu yang tega menyaksikan anaknya disembelih apalagi di depan mata. Baginda Raja merasa puas terhadap keputusan Abu Nawas. Dan .sebagai rasa terima kasih, Baginda menawari Abu Nawas menjadi penasehat hakim kerajaan. Tetapi Abu Nawas menolak. la lebih senang menjadi rakyat biasa.

Selamat Jalan Habib

habib-munzir-almusawa

SALAM DAKWAH -- Bunga itu mekar dan gugur. Bintang berpendar dan nantinya hancur. Bumi, mentari, bimasakti, bahkan semesta ini akan tiba hari kala mereka mati. Hidup seorang manusia jika dibandingkan pada itu semua, tak lebih dari satu kedipan mata (QS ar-Rahman, 55: 26).

Dalam serba fana ini, manusia lahir, tertawa, menitikkan air mata, berjuang, terluka, merasa bahagia, menyesak duka, membenci dan mencinta. Kesemuanya itu sungguh singkat.

Dan akhirnya, dia jatuh pada tidur panjang dan dalam yang disebut dengan kematian. Dan kematian bukanlah suatu kesimpulan. Ia hanya sebuah perpindahan. Pintu memasuki hidup di atas hidup.

Hidup yang sesaat namun teramat beresiko ini, pasti akan ada akhirnya. Dan kita nanti akan hidup selama-lamanya; tidak satu abad, tidak pula dua abad; akan tetapi berabad-abad lamanya dan tidak akan ada ujungnya. Kapan? Nanti saat kita semua memulainya melalui pintu kematian.

Kematian adalah akhir kehidupan dunia, namun awal bagi kehidupan akhirat. Bagaimana keadaan kita di akhirat, adalah bagaimana keadaan kita saat di dunia.

Jika sejarah dunia tertulis dengan tinta kebaikan, maka kebaikan itu akan  terekam dalam lembar yang sangat indah. Namun jika lembaran dunia banyak memoles keburukan amal, maka akan sangat legam dan hitamlah kehidupan akhiratnya. Na’udzubillah. 

Sahabatku tercinta, masih membekas duka mendalam di hati imaniyah kita; guru kita yang shaleh, ad-Da’i ila Allah wa Rasuulih, al-Mujahid fi sabilih, telah berpulang ke Haribaan-Nya;  al-Habib Munzhir bin Fuad al-Musawa (40).

Peristiwa wafatnya beliau yang terlalu pagi ini dan tentu dengan semua hamba Allah yang mendiami planet bumi-Nya ini yang telah berpulang lebih awal, seharusnya menjadi nasehat berharga buat kita yang masih hidup.

Rasul berpesan melalui Amar bin Yasir r.a, “Kafaa bil mauti maw’izhotan, cukuplah kematian menjadi nasehat dan peringatan.”

Jika hari ini kita mendoakan beliau yang telah wafat. Boleh jadi, besok giliran kita yang akan didoakan. Karena kita semua pasti akan seperti beliau.

Bukankah, semua makhluk yang bernyawa sudah divonis mati oleh Allah. Kullu nafsin dzaa iqatul maut, [QS. Ali Imran [3] ; 19] demikian Allah Azza wa Jalla tegaskan.

Berarti saat ini sebenarnya kita sedang menantikan vonis kematian. Kita sejatinya sedang mengantri menuju gerbang kematian.

Karena kita sudah divonis mati oleh Allah, menjadi tidak penting di mana kita mati dan kapan kita mati; tapi lebih dari segalanya, menjawab dan mempersiapkan diri dalam kondisi apa kita mati. Teramat besar harapan kita, kelak saat kita dipanggil untuk segera pulang ke hariabaan-Nya,

Wafatnya kita seperti beliau, wafat dalam keadaan terbaik; membawa iman, dalam keadaan sedang menikmati lezatnya taat di jalan Allah, berserah diri dalam Islam, bersih-suci lahir dan batin, dan dalam keadaan lisan kita berakhir dengan kalimat tauhid; Laa ilaaha illa Allah! Wafat dalam keadaan husnul khootimah. 

Ya Allah, perkenankan kepada kami bertaubat sebelum kami wafat, kami dapat rahmat-Mu di detik-detik kematian kami, dan kami pun dapat ampunan-Mu setelah kami wafat. Ringankan semua kami menghadapi goncangan sakaratul maut. Kelak jadikan kubur kami, terkhusus kubur dari guru kami al-Habib Munzhir bin Fuad al-Musawa, sebagai miniatur surga-Mu, catat nama beliau sebagai penghuni surga-Mu. Dan kelak Engkau pertemukan kami di taman indah surga-Mu. Aamiin!” 

Thursday, September 19, 2013

Saat Dihina

saat dihina

"Ustadz, saya tidak melakukan satu kesalahan apa pun. Bahkan saya merasa selalu berbuat baik kepadanya. Namun semuanya seperti debu yang tersapu angin; hilang dan tidak berbekas,'' seorang jamaah mengeluh selepas halaqah dengan nada super kesal.

Jamaah itu melanjutkan, ''Tragisnya lagi, kata-kata kotor dan merendahkan justru berhamburan dari lisannya! Saya dihina habis-habisan," ungkap jamaah tersebut. 

Atas curhatan seorang jamaah ini, ada baiknya kita melihat lembar kembali sejarah di mana Rasulullah SAW pernah mendapati keadaan yang lebih buruk dari itu.

Seperti dituturkan oleh Abu Bakar As-Shidiq. Suatu ketika, sahabat terdekat Nabi SAW ini termenung. Ia terus bertanya-tanya, amal shalih apa yang pernah dikerjakan oleh Rasulullah SAW namun belum ia kerjakan. Maka ia pun bertanya kepada anaknya, Aisyah R.A. yang juga merupakan istri Nabi Muhammad SAW.

“Wahai anakku, apa kira-kira amal yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika masih hidup tapi belum aku kerjakan?”
 

Aisyah R.A menjawab, “Rasulullah SAW selalu memberi makan kepada seorang Yahudi buta di pojok sudut pasar”. Tidak menunggu waktu lama, maka Abu Bakar R.A, pun menghampirinya.

Sambil mengeluarkan roti, Abu Bakar R.A mendekati perempuan buta Yahudi itu. Benar, perempuan buta itu terus saja mengoceh omongan buruk tentang Rasulullah SAW. Ia menghina Rasulullah SAW dan menyuruh orang-orang di pasar untuk tidak mengikuti ajakan Muhammad.

Abu Bakar R.A mendengar itu semua dengan gejolak tidak menentu. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Rasulullah SAW saat memberi makan perempuan buta itu, padahal telinga beliau dibombardir dengan kalimat-kalimat ejekan dan hinaan.

Suapan pertama pun telah masuk, namun terkagetlah Abu Bakar. Sambil memuntahkan kembali suapannya, perempuan buta ini berkata ketus, ”Siapa kamu, kamu bukan orang yang biasa memberi aku makan”.

Abu Bakar berkata,” Dari mana engkau tahu bahwa aku bukanlah orang yang biasa memberimu makan?” 

“Makanan yang engkau beri tidak kau haluskan lebih dulu. Orang yang biasa memberiku makan selalu menghaluskan makanan lebih dulu karena ia tahu, gigiku sudah tak sanggup lagi mengunyah makanan,” sahut perempuan buta ini.

Tidak sabar dengan keadaan yang tak menentu di hatinya ini, Abu Bakar sambil terisak berujar, Ketahuilah, orang yang biasa memberimu makan sudah wafat beberapa hari yang lalu dan aku adalah sahabatnya,'' kata Abu Bakar. 

Ia melanjutkan, ''Orang yang biasa memberimu makan adalah Muhammad SAW, lelaki yang tiap hari selalu bersabar meski kau hina dan caci sedangkan ia tak pernah berhenti menyuapkan makanan ke mulutmu. 

Perempuan Yahudi yang buta itu kaget bukan main dan tak lama kemudian tangisnya pun pecah. Ia menyesal belum sempat meminta maaf kepada orang yang sangat peduli dengannya padahal tidak ada seorang keluarganya pun yang peduli dengan keadaannya. 

SubhanAllah, saat hinaan dibalas dengan kesabaran, ternyata buahnya adalah ilmu, hikmah dan hadiah yang luar biasa dari Allah SWT.

Sebagaimana perempuan Yahudi ini kemudian bersyahadat, maka semoga saja dengan tetap bersabar, ada membersit pintu kebaikan dalam hidup kita. Aamiin.

Zahra dan Ayah yang Lalai

zahra dan ayah yang lalai

SALAM DAKWAH -- Akbar adalah seorang yang super sibuk dengan urusan kantornya. Saking sibuknya, ia terkadang lupa memberikan waktu sejenak buat keluarga. Berkali-kali putri semata wayangnya, Zahra, ingin bermanja dengan ayahnya, tetapi sering tidak terlaksana.

Padahal, gadis berusia lima tahun itu sudah sangat kangen dengan ayahnya. Sang ibu pun harus memberi pengertian kepada Zahra tentang kesibukan ayahnya itu. 

Suatu sore, di tengah kesibukan Akbar mengurusi berkas-berkas kantor, Zahra mendekatinya, seraya memohon untuk dibacakan cerita bergambar. “Maaf Zahra, ayah sedang sibuk. Dibacakan sama ibu saja, ya?” ujar Akbar.

Akan tetapi, Zahra tetap meminta sang ayah untuk membacakannya. Berkali-kali ia memohon dan mengharap ayahnya mau meluangkan waktu untuknya. “Ayah kan sibuk dan jarang punya waktu buat Zahra. Jadi, selagi ayah ada di rumah, ayolah, Yah. Zahra ingin ayah yang membacakannya,” harapnya. 

Namun, Akbar tetap tak acuh dengan keinginan putrinya. Karena sering didesak, Akbar pun mulai hilang kesabarannya. Ia emosi. Ia mendorong putrinya sambil berkata dengan nada tinggi. “Zahra, ayah bilang nggak bisa. Ngerti nggak?” bentaknya.

Menyaksikan ayahnya semakin emosi, Zahra pun segera berlalu menuju pintu. Sesampainya di pintu, ia memandangi ayahnya dari belakang dengan mata berkaca-kaca. “Zahra sayang sama ayah,” ujarnya, kemudian menutup pintu ruang kerja ayahnya.

Tanpa menghiraukan, Akbar kembali melanjutkan pekerjaannya. 

Setelah selang beberapa saat, terdengar suara keras diiringi suara teriakan di depan rumah. Akbar pun bergegas mencari sumber suara. Ia kaget bukan kepalang. Ia menyaksikan anaknya, Zahra, tergeletak di tengah jalan dengan darah yang terus mengalir akibat tertabrak seorang pengendara sepeda motor yang kemudian melarikan diri.

Akbar segera membawa Zahra ke rumah sakit dengan mobilnya. Ia masih sempat mendengar suara Zahra yang meminta supaya dimaafkan karena sikapnya terhadap ayahnya tadi. Namun, kondisi Zahra yang demikian parah, nyawanya tak tertolong.

Akbar begitu menyesal. Ia memaki dirinya sendiri. Ia menyesali dirinya yang bodoh karena telah lalai. Dan akibat kelalaiannya, anaknya pun pergi untuk selama-lamanya. Ia tak menyangka, seandainya ia membacakan buku cerita untuk Zahra, mungkin bukan seperti ini kejadiannya. Ia sangat menyesal, tetapi penyesalannya sudah terlambat.

Beberapa pelajaran penting dapat dipetik dari cerita singkat tersebut di atas, terutama bagi pemimpin rumah tangga yang telah memiliki buah hati, hendaknya bisa meluangkan waktu buat keluarga. Sebanyak apa pun aktivitas kita, tetaplah meluangkan waktu untuk keluarga.

Karena, keluarga menjadi pelita dan tempat yang damai bagi seseorang yang telah bekerja keras. Dan, anak adalah permata hati yang menjadi titipan Allah.

Semoga kisah ini memberikan kita keteladanan dalam membangun sebuah rumah tangga yang terbaik demi mengharap rahmat Allah SWT. Wallahu a'lam. 

Sumber : Republika.co.id