Showing posts with label doa dan zikir. Show all posts
Showing posts with label doa dan zikir. Show all posts

Friday, March 7, 2014

Memperbanyak Amalan Doa

Ya ALLAH

Assalaamu alaikum wa rahmatullaahi wa barkaatuhu..

Sahabat shalehku yang dirahmati ALLAH, Diantara amalan yang sangat dianjurkan sebagai penyempurna ibadah Ramadhan kita adalah Memperbanyak Doa. Hal ini tersirat dari posisi ayatush shiyam (ayat-ayat puasa) yang menjelaskan syariat puasa di bulan Ramadhan. Dari ayat 183 sampai 187, Allah “menyelipkan” ayat tentang doa diantaranya. Ayat 183 dan 184 surah al-baqarah adalah jelas perintah untuk berpuasa di bulan Ramadhan. Sedangkan ayat 186 adalah perintah untuk memperbanyak doa. Dan ayat 187 tentang anjuran ber’itikaf.

Dianjurkannya untuk memperbanyak doa tidak lain karena kasih sayang dan Maha Pemurah Allah terhadap setiap hamba-Nya yang beriman. Bukankah doa orang berpuasa adalah doa yang sangat mustajab, seperti menjelang berbuka.

Rasulullah Saw menegaskan, “Ada tiga orang yang doanya tidak ditolak; pemimpin yang adil, orang yang berpuasa sampai dia berbuka, dan doa orang yang dizalimi.” (HR. Tirmidzi dan ath-Thabrani).

Saudaraku, ketahuilah bahwa tidak ada doa setiap muslim apalagi disertai dengan keyakinan (muqinuna bil ijabah) yang tidak dikabulkan. Semua doa di dengar ALLAH Swt. Sebagaimana firman Allah, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah (berdoa) kepada-Ku akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dina.” (al-Mukmin [40] : 60).

Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah membebaskan hamba-hamba-Nya dari api neraka setiap hari dan malam di bulan Ramadhan. Dan sesungguhnya setiap muslim memiliki satu doa yang mustajab di bulan ini.” (HR. Ahmad).

SubhanAllah, karena itu saudaraku, perbanyaklah doa dalam rupa apa saja. Minta (memohon) yang terkait tentang kebaikan dunia silahkan, urusan kelancaran kerja, hutang piutang, dimudahkan jodoh, mohon dikaruniakan anak dan keturunan, bisa menikmati ibadah haji dan umrah di tanah haram, minta diwafatkan husnul khotimah dengan membawa iman dan Islam, diampuni semua dosa, tercatat sebagai penghuni surga dan lain sebagainya.

Permintaan yang banyak kepada Allah dari seorang hamba, justru menjadi amalan yang sangat disukai oleh Allah. Dalam sebuah hadits disebutkan, “Tidak ada yang lebih utama (mulia) disisi Allah daripada doa.” (HR. Ahmad).

Banyak misteri takdir yang terjadi di luar persangkaan manusia, karena kekuatan doa. Bahkan tidak ada yang bisa mengubah dan mengutak-atik takdir kecuali doa.

Saatnya kita ubah takdir kenestapaan kita dengan memperbanyak doa. Mumpung kita berada di bulan diijabahnya semua doa. Yakinlah dengan kemurahan-Nya, terutama di bulan Ramadhan, syahrud du’a, bulan penuh doa.

“Sesungguhnya Allah Maha Pemalu dan Maha Murah Hati. Allah Malu bila ada hamba-Nya yang menengadahkan tangan (memohon kepada-Nya) lalu dibiarkannya kosong dan kecewa.” (HR. al-Hakim).

SubhanakAllahuma wabihamdika, asyhadu alla ilaha ila Anta, astaghfiruka wa atubu ilaih

Tuesday, March 4, 2014

Membuka Mata Batin

la ilaha illallah 01


Assalaamu alaikum wa rahmatullaahi wa barkaatuhu..

Sahabatku yang dirahmati ALLAH, Keimanan yang mantap akan membuat kita dekat dengan Allah. Allah sendiri berjanji bahwa jika kita menghadapnya dengan cara berjalan, Dia akan menemui kita dengan berlari. Allah akan menyambut kita lebih cepat daripada langkah kaki kita. Pada titik tertentu, keimanan kita yang terlatih, dengan zikir la ilaha illallah akan sampai pada tahap dimana tidak ada lagi hijab (penghalang) antara kita dengan-Nya. Kita merasa Allah begitu dekat, sehingga kita tak mau diganggu siapapun meski hanya sebentar. Pada titik  itulah kita akan merasakan manisnya keimanan.

Bukan hal mudah mencapai posisi yang dekat dengan Allah, namun bukan pula sesuatu yang mustahil. Hanya saja, kita seringkali terhalang oleh hijab-hijab yang kita ciptakan sendiri. Allah seolah menjadi sangat jauh dari kehidupan kita. Sehingga kita bebas melakukan apapun untuk menuruti hawa nafsu. Kita lupa bahwa sesungguhnya kita berada dalam pengawasan-Nya. Padahal, Allah tetap menatap, mengawasi, dan mengetahui apa yang kita lakukan, kapanpun dan dimanapun kita berada. Allah tidak pernah menjauh dari diri kita. Dia akan menerima kita kapanpun kita mau mendekat kepada-Nya. Hanya saja, kitalah yang malah seringkali ‘menjauhkan-Nya’.

Mukasyafah adalah tersingkapnya hal-hal ghaib oleh mata batin kita. Itu terjadi ketika kita benar-benar sudah sangat dekat dengan-Nya. Mukasyafah akan diraih ketika zikir bukan sekadar di mulut namun telah merasuk kedalam hati. Lebih jauh lagi, zikir itu telah lenyap dari perasaan karena kita ‘pergi’ kepada-Nya secara total. Sebab, selama hati masih merasakan zikir dan memerhatikannya, sejatinya kita masih berpaling dari Allah. Bila tidak ada lagi keraguan di hati kita, jauh dari syirik yang tersamar (khafiy), dan larut dalam keintiman dengan Tuhan Yang Maha Esa, saat itulah kita telah mencapai tauhid yang sesungguhnya.

Banyak orang yang bertanya mengapa mukasyafah (tersingkapnya) hal-hal gaib ini hanya ada dalam suasana fana?.

Saudaraku, bila kita renungkan secara mendalam, kita tidak dapat membatasi diri untuk dapat menyaksikan indera-indera dan halangan-halangan nafsu serta syahwat yang menggiring ke alam nyata yang penuh kepalsuan dan tipu daya. Oleh sebab itu, kebenaran yang nyata akan diungkap pada akhirnya oleh situasi yang bernama kematian. Sebab itu, jika dominasi inderawi tidak dapat memengaruhi kita dengan tidur maka akan ditunjukkan kepada kita sesuatu yang gaib sesuai dengan kesiapan, penerimaan, dan semangat kita. Namun, dengan sebuah perumpamaan yang perlu ditafsirkan.

Kita tidak akan mendapatkan mimpi yang benar dari diri kita sendiri sehingga mampu memprediksi masa yang akan datang. Sebab, khayalan sering mengganggu dan masuk dalam mimpi ketika kita tidur, meskipun indera-indera kita dalam kondisi tenang. Kemampuan melihat pun menjadi lemah dan tidak luput dari gambaran yang bercampur-baur.

Suasana fana adalah gambaran di mana anggota badan dalam kondisi diam tak bergerak dan khayalan dalam kondisi tenang menjadi reda dan tidak bercampur-baur. Jika khayalan yang tersisa adalah khayalan yang sudah terdominasi maka ia tidak akan terpengaruh kecuali dalam rangka menggambarkan apa yang nampak dari alam quds (alam suci) hingga terjelmakan dalam sosok para nabi, malaikat, dan arwah-arwah yang disucikan dalam ruang-ruang imajinasi. Jika kita mampu, kita bisa meraih posisi ahli dzauq, yaitu orang yang memiliki sensitifitas indera batin. Jika tidak mampu, kita cukup menjadi ahli di bidang ilmu tersebut. Namun, bila tidak mampu juga, kita cukup menjadi orang yang beriman kepada hal tersebut. Jangan sekali-kali mengingkarinya, sebab dengan mengingkari hal tersebut, kita bisa disiksa dengan pedih ketika kebenaran telah disingkap, yang dimulai saat sakaratul maut mendatangi kita.

ALLAH Swt berfirman, “Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan darimu penutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.” (QS. Qaf: 22).

Mukasyafah bisa digambarkan seperti penyakit, Orang awam yang sehat mungkin mengetahuinya, lebih-lebih seorang dokter yang memiliki ilmu di bidang itu. Namun, siapa pun yang tidak pernah sakit, ia tidak akan dapat merasakannya. Demikian pula dengan fana atau situasi di mana seseorang dapat ber-mukasyafah.

Dzauq (rasa) bisa kita alami secara empirik (musyahadah). Ilmu adalah analogi, sementara iman adalah penerimaan dengan prasangka baik disertai dengan upaya menepis keraguan. Maka, mari kita berusaha menjadi ahli musyahadah dengan mengalami dzauq sendiri secara empirik, karena berita saja tidak sama jelas atau gamblangnya dengan penyaksian secara empirik.

Bagi orang-orang yang sudah meraih kesucian akhlak dan mendapat pengetahuan, zikir merupakan amalan utama. Apalagi, jika zikir sudah mendominasi hatinya sehingga diharapkan orang tersebut bisa mencapai tingkat istigharaq (tenggelam) dan fana. Orang seperti ini sudah tidak tertarik lagi pada pencapaian-pencapaian seperti surga beserta keindahan tamannya. Mereka hanya fokus menuju ALLAH Swt. Tidak ada yang menarik hatinya kecuali Allah. Ia memusatkan segala daya upayanya hanya pada satu titik dan menjadikan zikirnya hanya pada satu zikir. Itu sebabnya, ALLAH Swt berfirman, “Dan sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar (keutamaannya dari pada ibadah yang lain).” (QS. Al-Ankabut: 46).

Maka, jika  kita masih bertanya zikir mana yang paling utama, jawabannya adalah zikir yang mana Allah sebagai objek zikir tersebut telah mendominasi hati kita. Objek zikir hanya satu, tidak lebih, sehingga tidak perlu lagi memilih mana yang paling utama. Sementara itu, keseragaman dan kontuinitas zikir muncul sebelum tahap tersebut. Kondisi ini terjadi sepanjang kita melakukan zikir dengan lisan dan hati secara integral (bersamaan). Pada kondisi ini, zikir kadang terbagi menjadi zikir yang lebih utama dan sebaliknya.

Termasuk zikir yang paling utama adalah kalimat laa ilaha illallah al-hayyul qayuum (tiada tuhan selain Allah yang kekal berdiri sendiri). Karena, pada zikir ini terdapat nama Allah yang agung.

Nabi Muhammad Saw bersabda, “Nama Allah yang agung terdapat dalam Ayat Kursi dan permulaan Surat Ali-Imran.”

Zikir la ilaha illallah menunjukkan sikap tauhid atau pengesaan terhadap Allah. Makna wahdaniyyah (keesaan) pada dzat dan ketuhanan adalah hakiki pada diri ALLAH Swt tanpa penakwilan. Akan tetapi, pada selain Allah, makna wahdaniyyah hanya bersifat majazi atau metaforis dan harus ditakwilkan.

Saudaraku yang dirahmati Allah, mari kita mulai memfokuskan diri kepada Allah dengan menzikirkan kalimat yang mengesakan-Nya agar kita mendapat posisi yang tinggi disisi-Nya. Semakin fokus dan bersungguh-sungguh kita mengingat-Nya dan menzikirkan nama-Nya sehingga tidak ada hal lain yang penting selain Dia maka hal itu akan semakin mendekatkan kita pada situasi fana dimana kita bisa ber-mukasyafah dan menyadari bahwa hidup sesungguhnya bukanlah saat ini.

Kehidupan sejati bukanlah segala kemewahan dan kemegahan duniawi, namun kehidupan di sisi-Nya setelah kita berhasil menempuh kehidupan ini sesuai perintah-Nya.

SubhanAkallahumma wabihamdika, asyhadu alla ilaha illa Anta, astaghfiruka wa atubu ilaih.

Nikmatnya Tauhid

nikmatnya tauhid
Tauhid adalah mengesakan ALLAH, yaitu meyakini bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Tuhan, tidak ada yang lain. Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Tidak mudah untuk merengkuh makna tauhid yang sempurna. Kuncinya adalah dengan memahami kalimat la ilaha illallah.

Dalam proses menuju pemahaman tauhid, kita akan menempuh tahap keraguan (syakk) dalam hati. Meragukan kebenaran sesuatu merupakan fitrah manusia. Keyakinan akan sebuah kebenaran biasanya timbul setelah kita melewati keraguan. Ragu terhadap sesuatu artinya kita memikirkan atau mencari kebenaran sesuatu yang kita ragukan.

Orang yang tidak pernah meragukan boleh jadi tidak pernah meyakini. Jika kita meragukan keberadaan Tuhan, itu artinya kita memikirkan Tuhan. Hal tersebut sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah, yaitu sebagai makhluk-Nya, kita diharuskan untuk terus berpikir. Mempertanyakan eksistensi Tuhan termasuk bagian dari proses berpikir yang nantinya bermuara pada kesimpulan bahwa Tuhan itu benar-benar ada. Dan, Tuhan yang sejati adalah ALLAH Swt.

Kita dapat mengambil hikmah dari pengalaman Nabi Ibrahim as ketika beliau mencari Tuhan. Awalnya, Ibrahim as menganggap bulan sebagai Tuhan, lalu matahari, hingga pada akhirnya beliau meyakini bahwa ALLAH Swt adalah Tuhan yang sesungguhnya. Mustahil jika Nabi Ibrahim as sukses menemukan-Nya tanpa melalui proses berpikir yang panjang dan serius.

Pada masa sekarang, lebih-lebih setelah diutusnya Rasulullah Saw dengan membawa Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa ALLAH Swt adalah Tuhan yang sesungguhnya, cara mencari Tuhan seperti pernah dilakukan Nabi Ibrahim as barangkali kurang relevan. Namun, kegigihan Nabi Ibrahim as mencari cara agar dapat memperkuat keyakinan akan keberadaan Tuhan patut kita tiru.

Nabi Ibrahim as tak mau berhenti bertanya. Gejolak antara keyakinan dan keraguan terus bergulir di dalam hati dan pikirannya. Kendatipun Nabi Ibrahim as akhirnya tahu bahwa ALLAH Swt adalah Tuhan yang sesungguhnya, ia tetap menginginkan pembuktian yang nyata. Itu sebabnya, dalam sebuah kisah diceritakan bahwa ALLAH Swt memerintahkannya untuk mencari seekor burung. Lalu, burung itu dipotong-potong menjadi beberapa bagian. Dan tiap-tiap bagian diletakkan di tempat-tempat yang saling berjauhan, kemudian, dengan kehendak Allah, potongan-potongan burung itu menyatu kembali dan burung itu pun hidup.

Setelah peristiwa itu, keyakinan Nabi Ibrahim as akan Kemahakuasaan ALLAH Swt semakin mantap. Demikian pula kita. Hendaknya kita terus mencari pembuktian-pembuktian tentang kekuasaan-Nya agar iman kita juga semakin mantap.

Dengan menemukan pembuktian-pembuktian Keesaan dan Kekuasaan ALLAH, kita akan semakin bisa menikmati tauhid kepada Allah. Sungguh, terlalu banyak bukti Keesaan dan Kekuasaan ALLAH jika kita secara sadar mencarinya. Dalam kehidupan kita sehari-hari, betapa banyak kejadian yang seringkali berada di luar nalar kita sebagai manusia.

Banyak kesuksesan yang kita raih, tapi, itu tidak semata-mata karena kemampuan kita, namun kemampuan lain diluar diri kita, sesuatu yang sering kita sebut dengan keberuntungan. Keberuntungan tidak mungkin hadir tanpa keterkaitan yang erat antara kita dengan Sang Pencipta, yaitu ALLAH Swt.

Wahyu Al-Qur’an yang turun kepada Nabi Muhammad Saw merupakan alat bantu atau pedoman bagi umat manusia untuk memahami siapa Tuhan yang sesungguhnya. Adapun akal, dalam hal memahami Tuhan, digunakan sebagai alat untuk membuktikan kebenaran wahyu tersebut.

Dalam bahasa Arab, ragu atau bimbang diungkapkan dalam sejumlah kosakata.

Pertama, syakk yang berarti sikap antara membenarkan sesuatu dan mengingkarinya yang sama-sama kuat, seperti ketika kita melihat sebuah benda yang berwarna putih keabu-abuan dalam keremangan malam. Di satu sisi, kita yakin bahwa benda itu berwarna putih. Warna abu-abu yang tampak dari benda itu disebabkan oleh keremangan malam. Meski begitu, kita mungkin juga akan meyakini kemungkinan bahwa benda tersebut berwarna abu-abu.

Kedua, zhann yaitu keyakinan terhadap sesuatu yang lebih kuat dibandingkan dengan keyakinan terhadap sesuatu yang lain. Hal itu disebabkan adanya dalil yang menguatkan kebenaran untuk meyakininya. Misalnya, kita akhirnya yakin bahwa benda itu berwarna putih karena telah melihatnya melalui bantuan cahaya yang lebih bisa menerangi.

Ketiga, ghalabatuzh zhann, yaitu kecenderungan untuk lebih menguatkan keyakinan pada sesuatu dibandingkan pada sesuatu yang lain. Hal itu disebabkan telah adanya dalil kebenaran yang diyakini. Keyakinan dalam pengertian yang terakhirlah yang tertinggi. Keyakinan dalam pengertian inilah yang disebut dengan iman.

Untuk lebih memperjelas, mari kita perhatikan contoh kecil berikut. Misalnya, kita ragu terhadap berat sebuah benda, anggap saja sekantung pasir, apakah 1 kg atau 1,5 kg. keraguan semacam itu adalah syakk atau keraguan tingkat awal.

Tentu untuk meyakinkan apakah berat sekantung pasir itu 1 kg atau 1,5 kg, kita membutuhkan pembuktian melalui cara tertentu. Dengan melihat bentuk fisiknya saja, lalu kita membuat perbandingan dengan sekantung pasir lain yang beratnya 1 kg, kita bisa menebak dan bahkan meyakini berapa sebenarnya berat kantung pasir itu. Dengan membuat perbandingan, kita sudah bisa yakin. Namun begitu, butuh pembuktian lagi agar kita semakin yakin. Kita sudah sampai pada tahap keyakinan kedua, yaitu zhann.

Untuk mencapai tingkat keyakinan yang mantap, kita bisa menempuh cara dengan menimbang kantung pasir itu. Pada akhirnya akan diketahui bahwa berat pasir sesungguhnya adalah 1 kg. kita pun menjadi tidak ragu lagi bahwa berat sekantung pasir itu memang 1 kg, bukan 1,5 kg, karena kita sudah menimbangnya dengan timbangan yang akurat. Keyakinan yang terakhir ini disebut dengan ghalabatuzh zhann.

Al-Qur’an diturunkan sebagai dalil pembenaran adanya Tuhan yang sesungguhnya, yaitu ALLAH Swt, setelah manusia mengalami tahap syakk atau keraguan. Dengan turunnya Al-Qur’an, keraguan berubah menjadi zhann. Pada tahap selanjutnya, zhann akan sirna setelah kita memahami dan mempelajari Al-Qur’an dengan baik dan benar.

Lantas, bagaimana caranya agar kita mampu memahami Al-Qur’an dengan baik dan benar?

Nah, disinilah peran akal. Ia digunakan untuk menggali kedalaman makna ayat-ayat Al-Qur’an. Akal bukan untuk menyangkal atau meragukan kebenaran Al-Qur’an. Karena, bisa saja orang-orang yang mengkaji Al-Qur’an tanpa memiliki keimanan justru akan memutarbalikkan ayat-ayat Al-Qur’an untuk kepentingan kekafiran mereka. Sementara orang-orang yang beriman, orang-orang yang mempelajarinya dengan bekal keimanan yang kuat, akan mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dengan dasar keilmuan yang memadai. Sehingga, Al-Qur’an benar-benar hidup dalam jiwa mereka, tidak sekadar tulisan-tulisan tanpa makna yang hanya tersimpan di lemari atau dibaca tiap malam jumat saja, tanpa mengkaji maknanya lebih dalam.

Memang berat menghilangkan pertanyaan-pertanyaan alam bawah sadar kita, seperti pertanyaan tentang ada atau tidak adanya Tuhan. Kalau ada, bentuknya seperti apa? Jenis kelaminnya apa? Tinggalnya dimana? Dan lain sebagaimana…

Lalu, pertanyaan lanjutannya, apakah Tuhan benar-benar memperhatikan kita dan menyayangi serta mengasihi kita? Kalau begitu, dimanakah Tuhan saat kita berada dalam kesulitan? ketika bencana merajalela? atau saat orang-orang jahat berkuasa dan menindas orang-orang yang baik namun lemah?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut biasanya sering mengemuka. Sangat berbahaya jika kita membiarkan pertanyaan-pertanyaan itu bergerak liar di alam bawah sadar kita. Apalagi, jika ia sampai memengaruhi keimanan kita. Belum lagi jika kita bertanya pada orang yang salah. Bukannya mendapat jawaban-jawaban yang benar, malah bisa-bisa ia menjerumuskan kita ke dalam jurang kesesatan.

Zikir la ilaha illallah akan menjaga kita agar selalu memulai setiap pertanyaan tentang Tuhan dengan dasar keimanan dan menghindarkan kita dari banyak godaan yang hendak meluruhkan tauhid kita. Dengan banyak menzikirkan kalimat ini, kita akan merasakan nikmatnya bertauhid.

Wednesday, September 25, 2013

Do'a Rajanya Istigfar

do'a rajanya istigfar
SubhanAllah

Sahabatku, Rasulullah mengajarkan doa "sayyidul istigfar" yaitu rajanya istigfar yang tidak pernah ditolak bagi pemohon yang tulus, apalagi dipanjatkan dipenghujung malam. Mari kita baca doa ini dengan penuh harap dan yakin,

"Ya Allah, Engkaulah Tuhanku tidak ada Tuhan selain Engkau, Engkau menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu, aku berusaha memenuhi tekad dan janjiku untuk taat pada-Mu sekuatku, aku berlindung pada-Mu dari keburukan perbuatanku, aku mengakui semua nikmat-Mu, aku juga mengakui banyak dosaku, maka ampunilah aku, karena sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dasaku selain Engkau...aamiin".