Tuesday, March 4, 2014

Nikmatnya Tauhid

nikmatnya tauhid
Tauhid adalah mengesakan ALLAH, yaitu meyakini bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Tuhan, tidak ada yang lain. Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Tidak mudah untuk merengkuh makna tauhid yang sempurna. Kuncinya adalah dengan memahami kalimat la ilaha illallah.

Dalam proses menuju pemahaman tauhid, kita akan menempuh tahap keraguan (syakk) dalam hati. Meragukan kebenaran sesuatu merupakan fitrah manusia. Keyakinan akan sebuah kebenaran biasanya timbul setelah kita melewati keraguan. Ragu terhadap sesuatu artinya kita memikirkan atau mencari kebenaran sesuatu yang kita ragukan.

Orang yang tidak pernah meragukan boleh jadi tidak pernah meyakini. Jika kita meragukan keberadaan Tuhan, itu artinya kita memikirkan Tuhan. Hal tersebut sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah, yaitu sebagai makhluk-Nya, kita diharuskan untuk terus berpikir. Mempertanyakan eksistensi Tuhan termasuk bagian dari proses berpikir yang nantinya bermuara pada kesimpulan bahwa Tuhan itu benar-benar ada. Dan, Tuhan yang sejati adalah ALLAH Swt.

Kita dapat mengambil hikmah dari pengalaman Nabi Ibrahim as ketika beliau mencari Tuhan. Awalnya, Ibrahim as menganggap bulan sebagai Tuhan, lalu matahari, hingga pada akhirnya beliau meyakini bahwa ALLAH Swt adalah Tuhan yang sesungguhnya. Mustahil jika Nabi Ibrahim as sukses menemukan-Nya tanpa melalui proses berpikir yang panjang dan serius.

Pada masa sekarang, lebih-lebih setelah diutusnya Rasulullah Saw dengan membawa Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa ALLAH Swt adalah Tuhan yang sesungguhnya, cara mencari Tuhan seperti pernah dilakukan Nabi Ibrahim as barangkali kurang relevan. Namun, kegigihan Nabi Ibrahim as mencari cara agar dapat memperkuat keyakinan akan keberadaan Tuhan patut kita tiru.

Nabi Ibrahim as tak mau berhenti bertanya. Gejolak antara keyakinan dan keraguan terus bergulir di dalam hati dan pikirannya. Kendatipun Nabi Ibrahim as akhirnya tahu bahwa ALLAH Swt adalah Tuhan yang sesungguhnya, ia tetap menginginkan pembuktian yang nyata. Itu sebabnya, dalam sebuah kisah diceritakan bahwa ALLAH Swt memerintahkannya untuk mencari seekor burung. Lalu, burung itu dipotong-potong menjadi beberapa bagian. Dan tiap-tiap bagian diletakkan di tempat-tempat yang saling berjauhan, kemudian, dengan kehendak Allah, potongan-potongan burung itu menyatu kembali dan burung itu pun hidup.

Setelah peristiwa itu, keyakinan Nabi Ibrahim as akan Kemahakuasaan ALLAH Swt semakin mantap. Demikian pula kita. Hendaknya kita terus mencari pembuktian-pembuktian tentang kekuasaan-Nya agar iman kita juga semakin mantap.

Dengan menemukan pembuktian-pembuktian Keesaan dan Kekuasaan ALLAH, kita akan semakin bisa menikmati tauhid kepada Allah. Sungguh, terlalu banyak bukti Keesaan dan Kekuasaan ALLAH jika kita secara sadar mencarinya. Dalam kehidupan kita sehari-hari, betapa banyak kejadian yang seringkali berada di luar nalar kita sebagai manusia.

Banyak kesuksesan yang kita raih, tapi, itu tidak semata-mata karena kemampuan kita, namun kemampuan lain diluar diri kita, sesuatu yang sering kita sebut dengan keberuntungan. Keberuntungan tidak mungkin hadir tanpa keterkaitan yang erat antara kita dengan Sang Pencipta, yaitu ALLAH Swt.

Wahyu Al-Qur’an yang turun kepada Nabi Muhammad Saw merupakan alat bantu atau pedoman bagi umat manusia untuk memahami siapa Tuhan yang sesungguhnya. Adapun akal, dalam hal memahami Tuhan, digunakan sebagai alat untuk membuktikan kebenaran wahyu tersebut.

Dalam bahasa Arab, ragu atau bimbang diungkapkan dalam sejumlah kosakata.

Pertama, syakk yang berarti sikap antara membenarkan sesuatu dan mengingkarinya yang sama-sama kuat, seperti ketika kita melihat sebuah benda yang berwarna putih keabu-abuan dalam keremangan malam. Di satu sisi, kita yakin bahwa benda itu berwarna putih. Warna abu-abu yang tampak dari benda itu disebabkan oleh keremangan malam. Meski begitu, kita mungkin juga akan meyakini kemungkinan bahwa benda tersebut berwarna abu-abu.

Kedua, zhann yaitu keyakinan terhadap sesuatu yang lebih kuat dibandingkan dengan keyakinan terhadap sesuatu yang lain. Hal itu disebabkan adanya dalil yang menguatkan kebenaran untuk meyakininya. Misalnya, kita akhirnya yakin bahwa benda itu berwarna putih karena telah melihatnya melalui bantuan cahaya yang lebih bisa menerangi.

Ketiga, ghalabatuzh zhann, yaitu kecenderungan untuk lebih menguatkan keyakinan pada sesuatu dibandingkan pada sesuatu yang lain. Hal itu disebabkan telah adanya dalil kebenaran yang diyakini. Keyakinan dalam pengertian yang terakhirlah yang tertinggi. Keyakinan dalam pengertian inilah yang disebut dengan iman.

Untuk lebih memperjelas, mari kita perhatikan contoh kecil berikut. Misalnya, kita ragu terhadap berat sebuah benda, anggap saja sekantung pasir, apakah 1 kg atau 1,5 kg. keraguan semacam itu adalah syakk atau keraguan tingkat awal.

Tentu untuk meyakinkan apakah berat sekantung pasir itu 1 kg atau 1,5 kg, kita membutuhkan pembuktian melalui cara tertentu. Dengan melihat bentuk fisiknya saja, lalu kita membuat perbandingan dengan sekantung pasir lain yang beratnya 1 kg, kita bisa menebak dan bahkan meyakini berapa sebenarnya berat kantung pasir itu. Dengan membuat perbandingan, kita sudah bisa yakin. Namun begitu, butuh pembuktian lagi agar kita semakin yakin. Kita sudah sampai pada tahap keyakinan kedua, yaitu zhann.

Untuk mencapai tingkat keyakinan yang mantap, kita bisa menempuh cara dengan menimbang kantung pasir itu. Pada akhirnya akan diketahui bahwa berat pasir sesungguhnya adalah 1 kg. kita pun menjadi tidak ragu lagi bahwa berat sekantung pasir itu memang 1 kg, bukan 1,5 kg, karena kita sudah menimbangnya dengan timbangan yang akurat. Keyakinan yang terakhir ini disebut dengan ghalabatuzh zhann.

Al-Qur’an diturunkan sebagai dalil pembenaran adanya Tuhan yang sesungguhnya, yaitu ALLAH Swt, setelah manusia mengalami tahap syakk atau keraguan. Dengan turunnya Al-Qur’an, keraguan berubah menjadi zhann. Pada tahap selanjutnya, zhann akan sirna setelah kita memahami dan mempelajari Al-Qur’an dengan baik dan benar.

Lantas, bagaimana caranya agar kita mampu memahami Al-Qur’an dengan baik dan benar?

Nah, disinilah peran akal. Ia digunakan untuk menggali kedalaman makna ayat-ayat Al-Qur’an. Akal bukan untuk menyangkal atau meragukan kebenaran Al-Qur’an. Karena, bisa saja orang-orang yang mengkaji Al-Qur’an tanpa memiliki keimanan justru akan memutarbalikkan ayat-ayat Al-Qur’an untuk kepentingan kekafiran mereka. Sementara orang-orang yang beriman, orang-orang yang mempelajarinya dengan bekal keimanan yang kuat, akan mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dengan dasar keilmuan yang memadai. Sehingga, Al-Qur’an benar-benar hidup dalam jiwa mereka, tidak sekadar tulisan-tulisan tanpa makna yang hanya tersimpan di lemari atau dibaca tiap malam jumat saja, tanpa mengkaji maknanya lebih dalam.

Memang berat menghilangkan pertanyaan-pertanyaan alam bawah sadar kita, seperti pertanyaan tentang ada atau tidak adanya Tuhan. Kalau ada, bentuknya seperti apa? Jenis kelaminnya apa? Tinggalnya dimana? Dan lain sebagaimana…

Lalu, pertanyaan lanjutannya, apakah Tuhan benar-benar memperhatikan kita dan menyayangi serta mengasihi kita? Kalau begitu, dimanakah Tuhan saat kita berada dalam kesulitan? ketika bencana merajalela? atau saat orang-orang jahat berkuasa dan menindas orang-orang yang baik namun lemah?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut biasanya sering mengemuka. Sangat berbahaya jika kita membiarkan pertanyaan-pertanyaan itu bergerak liar di alam bawah sadar kita. Apalagi, jika ia sampai memengaruhi keimanan kita. Belum lagi jika kita bertanya pada orang yang salah. Bukannya mendapat jawaban-jawaban yang benar, malah bisa-bisa ia menjerumuskan kita ke dalam jurang kesesatan.

Zikir la ilaha illallah akan menjaga kita agar selalu memulai setiap pertanyaan tentang Tuhan dengan dasar keimanan dan menghindarkan kita dari banyak godaan yang hendak meluruhkan tauhid kita. Dengan banyak menzikirkan kalimat ini, kita akan merasakan nikmatnya bertauhid.

0 komentar:

Post a Comment