Tuesday, March 4, 2014

Membuka Mata Batin

la ilaha illallah 01


Assalaamu alaikum wa rahmatullaahi wa barkaatuhu..

Sahabatku yang dirahmati ALLAH, Keimanan yang mantap akan membuat kita dekat dengan Allah. Allah sendiri berjanji bahwa jika kita menghadapnya dengan cara berjalan, Dia akan menemui kita dengan berlari. Allah akan menyambut kita lebih cepat daripada langkah kaki kita. Pada titik tertentu, keimanan kita yang terlatih, dengan zikir la ilaha illallah akan sampai pada tahap dimana tidak ada lagi hijab (penghalang) antara kita dengan-Nya. Kita merasa Allah begitu dekat, sehingga kita tak mau diganggu siapapun meski hanya sebentar. Pada titik  itulah kita akan merasakan manisnya keimanan.

Bukan hal mudah mencapai posisi yang dekat dengan Allah, namun bukan pula sesuatu yang mustahil. Hanya saja, kita seringkali terhalang oleh hijab-hijab yang kita ciptakan sendiri. Allah seolah menjadi sangat jauh dari kehidupan kita. Sehingga kita bebas melakukan apapun untuk menuruti hawa nafsu. Kita lupa bahwa sesungguhnya kita berada dalam pengawasan-Nya. Padahal, Allah tetap menatap, mengawasi, dan mengetahui apa yang kita lakukan, kapanpun dan dimanapun kita berada. Allah tidak pernah menjauh dari diri kita. Dia akan menerima kita kapanpun kita mau mendekat kepada-Nya. Hanya saja, kitalah yang malah seringkali ‘menjauhkan-Nya’.

Mukasyafah adalah tersingkapnya hal-hal ghaib oleh mata batin kita. Itu terjadi ketika kita benar-benar sudah sangat dekat dengan-Nya. Mukasyafah akan diraih ketika zikir bukan sekadar di mulut namun telah merasuk kedalam hati. Lebih jauh lagi, zikir itu telah lenyap dari perasaan karena kita ‘pergi’ kepada-Nya secara total. Sebab, selama hati masih merasakan zikir dan memerhatikannya, sejatinya kita masih berpaling dari Allah. Bila tidak ada lagi keraguan di hati kita, jauh dari syirik yang tersamar (khafiy), dan larut dalam keintiman dengan Tuhan Yang Maha Esa, saat itulah kita telah mencapai tauhid yang sesungguhnya.

Banyak orang yang bertanya mengapa mukasyafah (tersingkapnya) hal-hal gaib ini hanya ada dalam suasana fana?.

Saudaraku, bila kita renungkan secara mendalam, kita tidak dapat membatasi diri untuk dapat menyaksikan indera-indera dan halangan-halangan nafsu serta syahwat yang menggiring ke alam nyata yang penuh kepalsuan dan tipu daya. Oleh sebab itu, kebenaran yang nyata akan diungkap pada akhirnya oleh situasi yang bernama kematian. Sebab itu, jika dominasi inderawi tidak dapat memengaruhi kita dengan tidur maka akan ditunjukkan kepada kita sesuatu yang gaib sesuai dengan kesiapan, penerimaan, dan semangat kita. Namun, dengan sebuah perumpamaan yang perlu ditafsirkan.

Kita tidak akan mendapatkan mimpi yang benar dari diri kita sendiri sehingga mampu memprediksi masa yang akan datang. Sebab, khayalan sering mengganggu dan masuk dalam mimpi ketika kita tidur, meskipun indera-indera kita dalam kondisi tenang. Kemampuan melihat pun menjadi lemah dan tidak luput dari gambaran yang bercampur-baur.

Suasana fana adalah gambaran di mana anggota badan dalam kondisi diam tak bergerak dan khayalan dalam kondisi tenang menjadi reda dan tidak bercampur-baur. Jika khayalan yang tersisa adalah khayalan yang sudah terdominasi maka ia tidak akan terpengaruh kecuali dalam rangka menggambarkan apa yang nampak dari alam quds (alam suci) hingga terjelmakan dalam sosok para nabi, malaikat, dan arwah-arwah yang disucikan dalam ruang-ruang imajinasi. Jika kita mampu, kita bisa meraih posisi ahli dzauq, yaitu orang yang memiliki sensitifitas indera batin. Jika tidak mampu, kita cukup menjadi ahli di bidang ilmu tersebut. Namun, bila tidak mampu juga, kita cukup menjadi orang yang beriman kepada hal tersebut. Jangan sekali-kali mengingkarinya, sebab dengan mengingkari hal tersebut, kita bisa disiksa dengan pedih ketika kebenaran telah disingkap, yang dimulai saat sakaratul maut mendatangi kita.

ALLAH Swt berfirman, “Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan darimu penutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.” (QS. Qaf: 22).

Mukasyafah bisa digambarkan seperti penyakit, Orang awam yang sehat mungkin mengetahuinya, lebih-lebih seorang dokter yang memiliki ilmu di bidang itu. Namun, siapa pun yang tidak pernah sakit, ia tidak akan dapat merasakannya. Demikian pula dengan fana atau situasi di mana seseorang dapat ber-mukasyafah.

Dzauq (rasa) bisa kita alami secara empirik (musyahadah). Ilmu adalah analogi, sementara iman adalah penerimaan dengan prasangka baik disertai dengan upaya menepis keraguan. Maka, mari kita berusaha menjadi ahli musyahadah dengan mengalami dzauq sendiri secara empirik, karena berita saja tidak sama jelas atau gamblangnya dengan penyaksian secara empirik.

Bagi orang-orang yang sudah meraih kesucian akhlak dan mendapat pengetahuan, zikir merupakan amalan utama. Apalagi, jika zikir sudah mendominasi hatinya sehingga diharapkan orang tersebut bisa mencapai tingkat istigharaq (tenggelam) dan fana. Orang seperti ini sudah tidak tertarik lagi pada pencapaian-pencapaian seperti surga beserta keindahan tamannya. Mereka hanya fokus menuju ALLAH Swt. Tidak ada yang menarik hatinya kecuali Allah. Ia memusatkan segala daya upayanya hanya pada satu titik dan menjadikan zikirnya hanya pada satu zikir. Itu sebabnya, ALLAH Swt berfirman, “Dan sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar (keutamaannya dari pada ibadah yang lain).” (QS. Al-Ankabut: 46).

Maka, jika  kita masih bertanya zikir mana yang paling utama, jawabannya adalah zikir yang mana Allah sebagai objek zikir tersebut telah mendominasi hati kita. Objek zikir hanya satu, tidak lebih, sehingga tidak perlu lagi memilih mana yang paling utama. Sementara itu, keseragaman dan kontuinitas zikir muncul sebelum tahap tersebut. Kondisi ini terjadi sepanjang kita melakukan zikir dengan lisan dan hati secara integral (bersamaan). Pada kondisi ini, zikir kadang terbagi menjadi zikir yang lebih utama dan sebaliknya.

Termasuk zikir yang paling utama adalah kalimat laa ilaha illallah al-hayyul qayuum (tiada tuhan selain Allah yang kekal berdiri sendiri). Karena, pada zikir ini terdapat nama Allah yang agung.

Nabi Muhammad Saw bersabda, “Nama Allah yang agung terdapat dalam Ayat Kursi dan permulaan Surat Ali-Imran.”

Zikir la ilaha illallah menunjukkan sikap tauhid atau pengesaan terhadap Allah. Makna wahdaniyyah (keesaan) pada dzat dan ketuhanan adalah hakiki pada diri ALLAH Swt tanpa penakwilan. Akan tetapi, pada selain Allah, makna wahdaniyyah hanya bersifat majazi atau metaforis dan harus ditakwilkan.

Saudaraku yang dirahmati Allah, mari kita mulai memfokuskan diri kepada Allah dengan menzikirkan kalimat yang mengesakan-Nya agar kita mendapat posisi yang tinggi disisi-Nya. Semakin fokus dan bersungguh-sungguh kita mengingat-Nya dan menzikirkan nama-Nya sehingga tidak ada hal lain yang penting selain Dia maka hal itu akan semakin mendekatkan kita pada situasi fana dimana kita bisa ber-mukasyafah dan menyadari bahwa hidup sesungguhnya bukanlah saat ini.

Kehidupan sejati bukanlah segala kemewahan dan kemegahan duniawi, namun kehidupan di sisi-Nya setelah kita berhasil menempuh kehidupan ini sesuai perintah-Nya.

SubhanAkallahumma wabihamdika, asyhadu alla ilaha illa Anta, astaghfiruka wa atubu ilaih.

0 komentar:

Post a Comment