Tauhid adalah mengesakan ALLAH,
yaitu meyakini bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Tuhan, tidak ada yang lain.
Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Tidak mudah untuk merengkuh
makna tauhid yang sempurna. Kuncinya adalah dengan memahami kalimat la ilaha illallah.
Dalam proses menuju pemahaman tauhid, kita akan
menempuh tahap keraguan (syakk) dalam hati. Meragukan kebenaran sesuatu
merupakan fitrah manusia. Keyakinan akan sebuah kebenaran biasanya timbul
setelah kita melewati keraguan. Ragu terhadap sesuatu artinya kita memikirkan
atau mencari kebenaran sesuatu yang kita ragukan.
Orang yang tidak pernah meragukan boleh jadi tidak
pernah meyakini. Jika kita meragukan keberadaan Tuhan, itu artinya kita
memikirkan Tuhan. Hal tersebut sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah,
yaitu sebagai makhluk-Nya, kita diharuskan untuk terus berpikir. Mempertanyakan
eksistensi Tuhan termasuk bagian dari proses berpikir yang nantinya bermuara
pada kesimpulan bahwa Tuhan itu benar-benar ada. Dan, Tuhan yang sejati adalah
ALLAH Swt.
Kita dapat mengambil hikmah dari
pengalaman Nabi Ibrahim as ketika beliau mencari Tuhan. Awalnya, Ibrahim as
menganggap bulan sebagai Tuhan, lalu matahari, hingga pada akhirnya beliau
meyakini bahwa ALLAH Swt adalah Tuhan yang sesungguhnya. Mustahil jika Nabi
Ibrahim as sukses menemukan-Nya tanpa melalui proses berpikir yang panjang dan
serius.
Pada masa sekarang, lebih-lebih
setelah diutusnya Rasulullah Saw dengan membawa Al-Qur’an yang menjelaskan
bahwa ALLAH Swt adalah Tuhan yang sesungguhnya, cara mencari Tuhan seperti
pernah dilakukan Nabi Ibrahim as barangkali kurang relevan. Namun, kegigihan
Nabi Ibrahim as mencari cara agar dapat memperkuat keyakinan akan keberadaan
Tuhan patut kita tiru.
Nabi Ibrahim as tak mau berhenti
bertanya. Gejolak antara keyakinan dan keraguan terus bergulir di dalam hati
dan pikirannya. Kendatipun Nabi Ibrahim as akhirnya tahu bahwa ALLAH Swt adalah
Tuhan yang sesungguhnya, ia tetap menginginkan pembuktian yang nyata. Itu
sebabnya, dalam sebuah kisah diceritakan bahwa ALLAH Swt memerintahkannya untuk
mencari seekor burung. Lalu, burung itu dipotong-potong menjadi beberapa
bagian. Dan tiap-tiap bagian diletakkan di tempat-tempat yang saling berjauhan,
kemudian, dengan kehendak Allah, potongan-potongan burung itu menyatu kembali
dan burung itu pun hidup.
Setelah peristiwa itu, keyakinan
Nabi Ibrahim as akan Kemahakuasaan ALLAH Swt semakin mantap. Demikian pula kita.
Hendaknya kita terus mencari pembuktian-pembuktian tentang kekuasaan-Nya agar
iman kita juga semakin mantap.
Dengan menemukan
pembuktian-pembuktian Keesaan dan Kekuasaan ALLAH, kita akan semakin bisa
menikmati tauhid kepada Allah. Sungguh, terlalu banyak bukti Keesaan dan Kekuasaan
ALLAH jika kita secara sadar mencarinya. Dalam kehidupan kita sehari-hari, betapa
banyak kejadian yang seringkali berada di luar nalar kita sebagai manusia.
Banyak kesuksesan yang kita raih,
tapi, itu tidak semata-mata karena kemampuan kita, namun kemampuan lain diluar
diri kita, sesuatu yang sering kita sebut dengan keberuntungan. Keberuntungan
tidak mungkin hadir tanpa keterkaitan yang erat antara kita dengan Sang
Pencipta, yaitu ALLAH Swt.
Wahyu Al-Qur’an yang turun kepada
Nabi Muhammad Saw merupakan alat bantu atau pedoman bagi umat manusia untuk
memahami siapa Tuhan yang sesungguhnya. Adapun akal, dalam hal memahami Tuhan,
digunakan sebagai alat untuk membuktikan kebenaran wahyu tersebut.
Dalam bahasa Arab, ragu atau
bimbang diungkapkan dalam sejumlah kosakata.
Pertama, syakk yang berarti sikap antara
membenarkan sesuatu dan mengingkarinya yang sama-sama kuat, seperti ketika kita
melihat sebuah benda yang berwarna putih keabu-abuan dalam keremangan malam. Di
satu sisi, kita yakin bahwa benda itu berwarna putih. Warna abu-abu yang tampak
dari benda itu disebabkan oleh keremangan malam. Meski begitu, kita mungkin
juga akan meyakini kemungkinan bahwa benda tersebut berwarna abu-abu.
Kedua, zhann yaitu keyakinan terhadap sesuatu
yang lebih kuat dibandingkan dengan keyakinan terhadap sesuatu yang lain. Hal
itu disebabkan adanya dalil yang menguatkan kebenaran untuk meyakininya.
Misalnya, kita akhirnya yakin bahwa benda itu berwarna putih karena telah
melihatnya melalui bantuan cahaya yang lebih bisa menerangi.
Ketiga, ghalabatuzh
zhann, yaitu kecenderungan
untuk lebih menguatkan keyakinan pada sesuatu dibandingkan pada sesuatu yang
lain. Hal itu disebabkan telah adanya dalil kebenaran yang diyakini. Keyakinan
dalam pengertian yang terakhirlah yang tertinggi. Keyakinan dalam pengertian
inilah yang disebut dengan iman.
Untuk lebih memperjelas, mari
kita perhatikan contoh kecil berikut. Misalnya, kita ragu terhadap berat sebuah
benda, anggap saja sekantung pasir, apakah 1 kg atau 1,5 kg. keraguan semacam
itu adalah syakk atau keraguan tingkat awal.
Tentu untuk meyakinkan apakah
berat sekantung pasir itu 1 kg atau 1,5 kg, kita membutuhkan pembuktian melalui
cara tertentu. Dengan melihat bentuk fisiknya saja, lalu kita membuat
perbandingan dengan sekantung pasir lain yang beratnya 1 kg, kita bisa menebak
dan bahkan meyakini berapa sebenarnya berat kantung pasir itu. Dengan membuat
perbandingan, kita sudah bisa yakin. Namun begitu, butuh pembuktian lagi agar
kita semakin yakin. Kita sudah sampai pada tahap keyakinan kedua, yaitu zhann.
Untuk mencapai tingkat keyakinan
yang mantap, kita bisa menempuh cara dengan menimbang kantung pasir itu. Pada
akhirnya akan diketahui bahwa berat pasir sesungguhnya adalah 1 kg. kita pun
menjadi tidak ragu lagi bahwa berat sekantung pasir itu memang 1 kg, bukan 1,5
kg, karena kita sudah menimbangnya dengan timbangan yang akurat. Keyakinan yang
terakhir ini disebut dengan ghalabatuzh zhann.
Al-Qur’an diturunkan sebagai dalil
pembenaran adanya Tuhan yang sesungguhnya, yaitu ALLAH Swt, setelah manusia
mengalami tahap syakk atau keraguan. Dengan turunnya Al-Qur’an, keraguan
berubah menjadi zhann. Pada tahap selanjutnya, zhann akan sirna setelah kita
memahami dan mempelajari Al-Qur’an dengan baik dan benar.
Lantas, bagaimana caranya agar
kita mampu memahami Al-Qur’an dengan baik dan benar?
Nah, disinilah peran akal. Ia
digunakan untuk menggali kedalaman makna ayat-ayat Al-Qur’an. Akal bukan untuk
menyangkal atau meragukan kebenaran Al-Qur’an. Karena, bisa saja orang-orang
yang mengkaji Al-Qur’an tanpa memiliki keimanan justru akan memutarbalikkan
ayat-ayat Al-Qur’an untuk kepentingan kekafiran mereka. Sementara orang-orang
yang beriman, orang-orang yang mempelajarinya dengan bekal keimanan yang kuat,
akan mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dengan dasar keilmuan yang memadai. Sehingga,
Al-Qur’an benar-benar hidup dalam jiwa mereka, tidak sekadar tulisan-tulisan
tanpa makna yang hanya tersimpan di lemari atau dibaca tiap malam jumat saja,
tanpa mengkaji maknanya lebih dalam.
Memang berat menghilangkan
pertanyaan-pertanyaan alam bawah sadar kita, seperti pertanyaan tentang ada
atau tidak adanya Tuhan. Kalau ada, bentuknya seperti apa? Jenis kelaminnya
apa? Tinggalnya dimana? Dan lain sebagaimana…
Lalu, pertanyaan lanjutannya,
apakah Tuhan benar-benar memperhatikan kita dan menyayangi serta mengasihi kita?
Kalau begitu, dimanakah Tuhan saat kita berada dalam kesulitan? ketika bencana
merajalela? atau saat orang-orang jahat berkuasa dan menindas orang-orang yang
baik namun lemah?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut
biasanya sering mengemuka. Sangat berbahaya jika kita membiarkan
pertanyaan-pertanyaan itu bergerak liar di alam bawah sadar kita. Apalagi, jika
ia sampai memengaruhi keimanan kita. Belum lagi jika kita bertanya pada orang
yang salah. Bukannya mendapat jawaban-jawaban yang benar, malah bisa-bisa ia
menjerumuskan kita ke dalam jurang kesesatan.
Zikir la ilaha illallah akan menjaga kita
agar selalu memulai setiap pertanyaan tentang Tuhan dengan dasar keimanan dan
menghindarkan kita dari banyak godaan yang hendak meluruhkan tauhid kita.
Dengan banyak menzikirkan kalimat ini, kita akan merasakan nikmatnya bertauhid.