Tuesday, March 4, 2014

Membuka Mata Batin

la ilaha illallah 01


Assalaamu alaikum wa rahmatullaahi wa barkaatuhu..

Sahabatku yang dirahmati ALLAH, Keimanan yang mantap akan membuat kita dekat dengan Allah. Allah sendiri berjanji bahwa jika kita menghadapnya dengan cara berjalan, Dia akan menemui kita dengan berlari. Allah akan menyambut kita lebih cepat daripada langkah kaki kita. Pada titik tertentu, keimanan kita yang terlatih, dengan zikir la ilaha illallah akan sampai pada tahap dimana tidak ada lagi hijab (penghalang) antara kita dengan-Nya. Kita merasa Allah begitu dekat, sehingga kita tak mau diganggu siapapun meski hanya sebentar. Pada titik  itulah kita akan merasakan manisnya keimanan.

Bukan hal mudah mencapai posisi yang dekat dengan Allah, namun bukan pula sesuatu yang mustahil. Hanya saja, kita seringkali terhalang oleh hijab-hijab yang kita ciptakan sendiri. Allah seolah menjadi sangat jauh dari kehidupan kita. Sehingga kita bebas melakukan apapun untuk menuruti hawa nafsu. Kita lupa bahwa sesungguhnya kita berada dalam pengawasan-Nya. Padahal, Allah tetap menatap, mengawasi, dan mengetahui apa yang kita lakukan, kapanpun dan dimanapun kita berada. Allah tidak pernah menjauh dari diri kita. Dia akan menerima kita kapanpun kita mau mendekat kepada-Nya. Hanya saja, kitalah yang malah seringkali ‘menjauhkan-Nya’.

Mukasyafah adalah tersingkapnya hal-hal ghaib oleh mata batin kita. Itu terjadi ketika kita benar-benar sudah sangat dekat dengan-Nya. Mukasyafah akan diraih ketika zikir bukan sekadar di mulut namun telah merasuk kedalam hati. Lebih jauh lagi, zikir itu telah lenyap dari perasaan karena kita ‘pergi’ kepada-Nya secara total. Sebab, selama hati masih merasakan zikir dan memerhatikannya, sejatinya kita masih berpaling dari Allah. Bila tidak ada lagi keraguan di hati kita, jauh dari syirik yang tersamar (khafiy), dan larut dalam keintiman dengan Tuhan Yang Maha Esa, saat itulah kita telah mencapai tauhid yang sesungguhnya.

Banyak orang yang bertanya mengapa mukasyafah (tersingkapnya) hal-hal gaib ini hanya ada dalam suasana fana?.

Saudaraku, bila kita renungkan secara mendalam, kita tidak dapat membatasi diri untuk dapat menyaksikan indera-indera dan halangan-halangan nafsu serta syahwat yang menggiring ke alam nyata yang penuh kepalsuan dan tipu daya. Oleh sebab itu, kebenaran yang nyata akan diungkap pada akhirnya oleh situasi yang bernama kematian. Sebab itu, jika dominasi inderawi tidak dapat memengaruhi kita dengan tidur maka akan ditunjukkan kepada kita sesuatu yang gaib sesuai dengan kesiapan, penerimaan, dan semangat kita. Namun, dengan sebuah perumpamaan yang perlu ditafsirkan.

Kita tidak akan mendapatkan mimpi yang benar dari diri kita sendiri sehingga mampu memprediksi masa yang akan datang. Sebab, khayalan sering mengganggu dan masuk dalam mimpi ketika kita tidur, meskipun indera-indera kita dalam kondisi tenang. Kemampuan melihat pun menjadi lemah dan tidak luput dari gambaran yang bercampur-baur.

Suasana fana adalah gambaran di mana anggota badan dalam kondisi diam tak bergerak dan khayalan dalam kondisi tenang menjadi reda dan tidak bercampur-baur. Jika khayalan yang tersisa adalah khayalan yang sudah terdominasi maka ia tidak akan terpengaruh kecuali dalam rangka menggambarkan apa yang nampak dari alam quds (alam suci) hingga terjelmakan dalam sosok para nabi, malaikat, dan arwah-arwah yang disucikan dalam ruang-ruang imajinasi. Jika kita mampu, kita bisa meraih posisi ahli dzauq, yaitu orang yang memiliki sensitifitas indera batin. Jika tidak mampu, kita cukup menjadi ahli di bidang ilmu tersebut. Namun, bila tidak mampu juga, kita cukup menjadi orang yang beriman kepada hal tersebut. Jangan sekali-kali mengingkarinya, sebab dengan mengingkari hal tersebut, kita bisa disiksa dengan pedih ketika kebenaran telah disingkap, yang dimulai saat sakaratul maut mendatangi kita.

ALLAH Swt berfirman, “Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan darimu penutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.” (QS. Qaf: 22).

Mukasyafah bisa digambarkan seperti penyakit, Orang awam yang sehat mungkin mengetahuinya, lebih-lebih seorang dokter yang memiliki ilmu di bidang itu. Namun, siapa pun yang tidak pernah sakit, ia tidak akan dapat merasakannya. Demikian pula dengan fana atau situasi di mana seseorang dapat ber-mukasyafah.

Dzauq (rasa) bisa kita alami secara empirik (musyahadah). Ilmu adalah analogi, sementara iman adalah penerimaan dengan prasangka baik disertai dengan upaya menepis keraguan. Maka, mari kita berusaha menjadi ahli musyahadah dengan mengalami dzauq sendiri secara empirik, karena berita saja tidak sama jelas atau gamblangnya dengan penyaksian secara empirik.

Bagi orang-orang yang sudah meraih kesucian akhlak dan mendapat pengetahuan, zikir merupakan amalan utama. Apalagi, jika zikir sudah mendominasi hatinya sehingga diharapkan orang tersebut bisa mencapai tingkat istigharaq (tenggelam) dan fana. Orang seperti ini sudah tidak tertarik lagi pada pencapaian-pencapaian seperti surga beserta keindahan tamannya. Mereka hanya fokus menuju ALLAH Swt. Tidak ada yang menarik hatinya kecuali Allah. Ia memusatkan segala daya upayanya hanya pada satu titik dan menjadikan zikirnya hanya pada satu zikir. Itu sebabnya, ALLAH Swt berfirman, “Dan sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar (keutamaannya dari pada ibadah yang lain).” (QS. Al-Ankabut: 46).

Maka, jika  kita masih bertanya zikir mana yang paling utama, jawabannya adalah zikir yang mana Allah sebagai objek zikir tersebut telah mendominasi hati kita. Objek zikir hanya satu, tidak lebih, sehingga tidak perlu lagi memilih mana yang paling utama. Sementara itu, keseragaman dan kontuinitas zikir muncul sebelum tahap tersebut. Kondisi ini terjadi sepanjang kita melakukan zikir dengan lisan dan hati secara integral (bersamaan). Pada kondisi ini, zikir kadang terbagi menjadi zikir yang lebih utama dan sebaliknya.

Termasuk zikir yang paling utama adalah kalimat laa ilaha illallah al-hayyul qayuum (tiada tuhan selain Allah yang kekal berdiri sendiri). Karena, pada zikir ini terdapat nama Allah yang agung.

Nabi Muhammad Saw bersabda, “Nama Allah yang agung terdapat dalam Ayat Kursi dan permulaan Surat Ali-Imran.”

Zikir la ilaha illallah menunjukkan sikap tauhid atau pengesaan terhadap Allah. Makna wahdaniyyah (keesaan) pada dzat dan ketuhanan adalah hakiki pada diri ALLAH Swt tanpa penakwilan. Akan tetapi, pada selain Allah, makna wahdaniyyah hanya bersifat majazi atau metaforis dan harus ditakwilkan.

Saudaraku yang dirahmati Allah, mari kita mulai memfokuskan diri kepada Allah dengan menzikirkan kalimat yang mengesakan-Nya agar kita mendapat posisi yang tinggi disisi-Nya. Semakin fokus dan bersungguh-sungguh kita mengingat-Nya dan menzikirkan nama-Nya sehingga tidak ada hal lain yang penting selain Dia maka hal itu akan semakin mendekatkan kita pada situasi fana dimana kita bisa ber-mukasyafah dan menyadari bahwa hidup sesungguhnya bukanlah saat ini.

Kehidupan sejati bukanlah segala kemewahan dan kemegahan duniawi, namun kehidupan di sisi-Nya setelah kita berhasil menempuh kehidupan ini sesuai perintah-Nya.

SubhanAkallahumma wabihamdika, asyhadu alla ilaha illa Anta, astaghfiruka wa atubu ilaih.

Nikmatnya Tauhid

nikmatnya tauhid
Tauhid adalah mengesakan ALLAH, yaitu meyakini bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Tuhan, tidak ada yang lain. Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Tidak mudah untuk merengkuh makna tauhid yang sempurna. Kuncinya adalah dengan memahami kalimat la ilaha illallah.

Dalam proses menuju pemahaman tauhid, kita akan menempuh tahap keraguan (syakk) dalam hati. Meragukan kebenaran sesuatu merupakan fitrah manusia. Keyakinan akan sebuah kebenaran biasanya timbul setelah kita melewati keraguan. Ragu terhadap sesuatu artinya kita memikirkan atau mencari kebenaran sesuatu yang kita ragukan.

Orang yang tidak pernah meragukan boleh jadi tidak pernah meyakini. Jika kita meragukan keberadaan Tuhan, itu artinya kita memikirkan Tuhan. Hal tersebut sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah, yaitu sebagai makhluk-Nya, kita diharuskan untuk terus berpikir. Mempertanyakan eksistensi Tuhan termasuk bagian dari proses berpikir yang nantinya bermuara pada kesimpulan bahwa Tuhan itu benar-benar ada. Dan, Tuhan yang sejati adalah ALLAH Swt.

Kita dapat mengambil hikmah dari pengalaman Nabi Ibrahim as ketika beliau mencari Tuhan. Awalnya, Ibrahim as menganggap bulan sebagai Tuhan, lalu matahari, hingga pada akhirnya beliau meyakini bahwa ALLAH Swt adalah Tuhan yang sesungguhnya. Mustahil jika Nabi Ibrahim as sukses menemukan-Nya tanpa melalui proses berpikir yang panjang dan serius.

Pada masa sekarang, lebih-lebih setelah diutusnya Rasulullah Saw dengan membawa Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa ALLAH Swt adalah Tuhan yang sesungguhnya, cara mencari Tuhan seperti pernah dilakukan Nabi Ibrahim as barangkali kurang relevan. Namun, kegigihan Nabi Ibrahim as mencari cara agar dapat memperkuat keyakinan akan keberadaan Tuhan patut kita tiru.

Nabi Ibrahim as tak mau berhenti bertanya. Gejolak antara keyakinan dan keraguan terus bergulir di dalam hati dan pikirannya. Kendatipun Nabi Ibrahim as akhirnya tahu bahwa ALLAH Swt adalah Tuhan yang sesungguhnya, ia tetap menginginkan pembuktian yang nyata. Itu sebabnya, dalam sebuah kisah diceritakan bahwa ALLAH Swt memerintahkannya untuk mencari seekor burung. Lalu, burung itu dipotong-potong menjadi beberapa bagian. Dan tiap-tiap bagian diletakkan di tempat-tempat yang saling berjauhan, kemudian, dengan kehendak Allah, potongan-potongan burung itu menyatu kembali dan burung itu pun hidup.

Setelah peristiwa itu, keyakinan Nabi Ibrahim as akan Kemahakuasaan ALLAH Swt semakin mantap. Demikian pula kita. Hendaknya kita terus mencari pembuktian-pembuktian tentang kekuasaan-Nya agar iman kita juga semakin mantap.

Dengan menemukan pembuktian-pembuktian Keesaan dan Kekuasaan ALLAH, kita akan semakin bisa menikmati tauhid kepada Allah. Sungguh, terlalu banyak bukti Keesaan dan Kekuasaan ALLAH jika kita secara sadar mencarinya. Dalam kehidupan kita sehari-hari, betapa banyak kejadian yang seringkali berada di luar nalar kita sebagai manusia.

Banyak kesuksesan yang kita raih, tapi, itu tidak semata-mata karena kemampuan kita, namun kemampuan lain diluar diri kita, sesuatu yang sering kita sebut dengan keberuntungan. Keberuntungan tidak mungkin hadir tanpa keterkaitan yang erat antara kita dengan Sang Pencipta, yaitu ALLAH Swt.

Wahyu Al-Qur’an yang turun kepada Nabi Muhammad Saw merupakan alat bantu atau pedoman bagi umat manusia untuk memahami siapa Tuhan yang sesungguhnya. Adapun akal, dalam hal memahami Tuhan, digunakan sebagai alat untuk membuktikan kebenaran wahyu tersebut.

Dalam bahasa Arab, ragu atau bimbang diungkapkan dalam sejumlah kosakata.

Pertama, syakk yang berarti sikap antara membenarkan sesuatu dan mengingkarinya yang sama-sama kuat, seperti ketika kita melihat sebuah benda yang berwarna putih keabu-abuan dalam keremangan malam. Di satu sisi, kita yakin bahwa benda itu berwarna putih. Warna abu-abu yang tampak dari benda itu disebabkan oleh keremangan malam. Meski begitu, kita mungkin juga akan meyakini kemungkinan bahwa benda tersebut berwarna abu-abu.

Kedua, zhann yaitu keyakinan terhadap sesuatu yang lebih kuat dibandingkan dengan keyakinan terhadap sesuatu yang lain. Hal itu disebabkan adanya dalil yang menguatkan kebenaran untuk meyakininya. Misalnya, kita akhirnya yakin bahwa benda itu berwarna putih karena telah melihatnya melalui bantuan cahaya yang lebih bisa menerangi.

Ketiga, ghalabatuzh zhann, yaitu kecenderungan untuk lebih menguatkan keyakinan pada sesuatu dibandingkan pada sesuatu yang lain. Hal itu disebabkan telah adanya dalil kebenaran yang diyakini. Keyakinan dalam pengertian yang terakhirlah yang tertinggi. Keyakinan dalam pengertian inilah yang disebut dengan iman.

Untuk lebih memperjelas, mari kita perhatikan contoh kecil berikut. Misalnya, kita ragu terhadap berat sebuah benda, anggap saja sekantung pasir, apakah 1 kg atau 1,5 kg. keraguan semacam itu adalah syakk atau keraguan tingkat awal.

Tentu untuk meyakinkan apakah berat sekantung pasir itu 1 kg atau 1,5 kg, kita membutuhkan pembuktian melalui cara tertentu. Dengan melihat bentuk fisiknya saja, lalu kita membuat perbandingan dengan sekantung pasir lain yang beratnya 1 kg, kita bisa menebak dan bahkan meyakini berapa sebenarnya berat kantung pasir itu. Dengan membuat perbandingan, kita sudah bisa yakin. Namun begitu, butuh pembuktian lagi agar kita semakin yakin. Kita sudah sampai pada tahap keyakinan kedua, yaitu zhann.

Untuk mencapai tingkat keyakinan yang mantap, kita bisa menempuh cara dengan menimbang kantung pasir itu. Pada akhirnya akan diketahui bahwa berat pasir sesungguhnya adalah 1 kg. kita pun menjadi tidak ragu lagi bahwa berat sekantung pasir itu memang 1 kg, bukan 1,5 kg, karena kita sudah menimbangnya dengan timbangan yang akurat. Keyakinan yang terakhir ini disebut dengan ghalabatuzh zhann.

Al-Qur’an diturunkan sebagai dalil pembenaran adanya Tuhan yang sesungguhnya, yaitu ALLAH Swt, setelah manusia mengalami tahap syakk atau keraguan. Dengan turunnya Al-Qur’an, keraguan berubah menjadi zhann. Pada tahap selanjutnya, zhann akan sirna setelah kita memahami dan mempelajari Al-Qur’an dengan baik dan benar.

Lantas, bagaimana caranya agar kita mampu memahami Al-Qur’an dengan baik dan benar?

Nah, disinilah peran akal. Ia digunakan untuk menggali kedalaman makna ayat-ayat Al-Qur’an. Akal bukan untuk menyangkal atau meragukan kebenaran Al-Qur’an. Karena, bisa saja orang-orang yang mengkaji Al-Qur’an tanpa memiliki keimanan justru akan memutarbalikkan ayat-ayat Al-Qur’an untuk kepentingan kekafiran mereka. Sementara orang-orang yang beriman, orang-orang yang mempelajarinya dengan bekal keimanan yang kuat, akan mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dengan dasar keilmuan yang memadai. Sehingga, Al-Qur’an benar-benar hidup dalam jiwa mereka, tidak sekadar tulisan-tulisan tanpa makna yang hanya tersimpan di lemari atau dibaca tiap malam jumat saja, tanpa mengkaji maknanya lebih dalam.

Memang berat menghilangkan pertanyaan-pertanyaan alam bawah sadar kita, seperti pertanyaan tentang ada atau tidak adanya Tuhan. Kalau ada, bentuknya seperti apa? Jenis kelaminnya apa? Tinggalnya dimana? Dan lain sebagaimana…

Lalu, pertanyaan lanjutannya, apakah Tuhan benar-benar memperhatikan kita dan menyayangi serta mengasihi kita? Kalau begitu, dimanakah Tuhan saat kita berada dalam kesulitan? ketika bencana merajalela? atau saat orang-orang jahat berkuasa dan menindas orang-orang yang baik namun lemah?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut biasanya sering mengemuka. Sangat berbahaya jika kita membiarkan pertanyaan-pertanyaan itu bergerak liar di alam bawah sadar kita. Apalagi, jika ia sampai memengaruhi keimanan kita. Belum lagi jika kita bertanya pada orang yang salah. Bukannya mendapat jawaban-jawaban yang benar, malah bisa-bisa ia menjerumuskan kita ke dalam jurang kesesatan.

Zikir la ilaha illallah akan menjaga kita agar selalu memulai setiap pertanyaan tentang Tuhan dengan dasar keimanan dan menghindarkan kita dari banyak godaan yang hendak meluruhkan tauhid kita. Dengan banyak menzikirkan kalimat ini, kita akan merasakan nikmatnya bertauhid.

Karena Cinta-Nya

karena cinta-Nya

SALAM DAKWAH -- Dalam riwayat Imam Muslim yang bersumber dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW menceritakan: “Suatu hari, seseorang melakukan perjalanan untuk mengunjungi saudaranya yang tinggal di suatu negeri. Maka Allah mengutus malaikat untuk mencegatnya di suatu tempat di tengah-tengah perjalanan. Ketika orang tersebut sampai, malaikat itu bertanya, “Hendak ke manakah engkau, wahai hamba Allah?”

Aku hendak mengunjungi saudaraku yang tinggal di negeri ini,” jawab orang itu.

Malaikat bertanya lagi; “Apakah kamu punya kepentingan duniawi yang diharapkan darinya?

Orang itu menjawab; “Tidak, kecuali sebab aku mencintainya karena Allah.”

Malaikat itu lantas mengabarkan; “Sesungguhnya aku adalah utusan Allah, yang dikirim kepadamu untuk menyampaikan bahwa Allah telah mencintaimu seperti engkau mencintai saudaramu itu.”

SubhanAllah.

Menjulurkan cinta karena Allah, penyebab kita menjadi kekasih-Nya. Di dunia kita mendapati cinta-Nya. Di akhirat beraneka kebaikan dan kenikmatan tiada tara telah Allah persiapkan.

Kalau Allah sudah mencintai hamba-Nya, Allah akan memberi lebih dari apa yang diminta.

Bahkan disebut dalam sebuah riwayat lain, “Orang-orang yang saling cinta karena Allah, maka kelak akan mendapatkan naungan istimewa di Hari yang tidak ada naungan kecuali naungan dari-Nya.”

Jadi jerih payah kebaikan karena cinta, bukan hanya didapat saat kita di dunia saja, tapi juga melintasi hingga di akhirat.

“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Ali Imran [3]: 31).

Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah terdapat orang-orang yang bukan nabi dan bukan pula syuhada,” ujar Rasulullah sebagaimana dibawakan dalam hadis oleh Imam Abu Daud. “Bahkan para nabi dan syuhada cemburu pada mereka di akhirat nanti, disebabkan kedudukan yang diberikan Allah kepada mereka.”

Para sahabat penasaran, lantas bertanya kepada Rasulullah SAW. “Siapakah mereka ya Rasulullah?”

Rasul menjelaskan; “Mereka itu adalah segolongan manusia yang saling mencintai karena Allah. Bukan karena kekerabatan dan darah. Bukan pula karena pemberian harta.”

Demi Allah, wajah mereka pada hari itu bersinar cemerlang dan mereka berada di atas cahaya. Mereka tidak merasa khawatir saat manusia lain ketakutan. Dan mereka tidak bersedih ketika manusia lain berduka.

ALLAHU AKBAR.

Beruntunglah kita yang menjalin persahabatan dan pertemanan karena Allah. Interaksi apa pun dan di tempat mana pun, yang mengikat di hati dan kesadaran kita tidak lain menjulur cinta karena-Nya.  Wallahu a’lam.

Tanda-Tanda Hamba yang dirahmati ALLAH

istiqamah

Assalaamu alaikum wa rahmatullaahi wa barkaatuhu..

Sahabatku, hakikat seorang hamba yang dirahmati ALLAH hanya Allah yang mengetahuinya, tetapi tanda-tandanya bisa diperhatikan :

1. Taubatnya sungguh sungguh,
2. "Waro'" taat dan berhati hati dengan Syariat Allah.
3. Hobbynya ibadah, terutama tahajjud, dan berjamaah di mesjid,
4. Semangatnya dalam tadabur Alqur'an dan As Sunnah,
5. Istiqomah dalam menghidupkan sunnah Rasulullah,
6. Wajah yang menyenangkan, murah senyum,
7. Dermawan, "arro'fu" belas kasih kepada dhuafa dan pembela mustadhafiin,
8. Akhlaknya mulia, terutama rendah dan tutur katanya santun dan jujur,
9. Namun tidak kehilangan sifat sikap tegas beraninya menegakkan yang HAQ,
10. Mencintai ulama dan umat Rasulullah,
11. Kuat doanya, baik sangka dan pantang berkeluh,
12. Sibuknya dalam koreksi diri, sama sekali tidak tertarik pada aib saudaranya, 
13. Mudah menangis karena Allah karena rindunya kepada Allah dan RasulNya.

SubhanAllah, semoga tanda-tanda itu ada pada diri kita.

Ya Allah yang meneguhkan hati, hiasilah hati kami dengan kesenangan ibadah, kemuliaan akhlak dan semangat beramal shaleh. Aamiin.

Panggilan Nakhoda

Panggilan Nakhoda

SALAM DAKWAH -- Tak kurang-kurang ALLAH SWT memaparkan iktibar di depan kita. Betapa banyak, seseorang yang kemarin sangat kaya bergelimang harta, hari ini mendadak miskin. Bahkan seseorang tampak sehat dan kuat di pagi hari, tiba-tiba sakit dan lemah lunglai di sore hari.

Lantas mengakhiri kehidupannya yang fana karena saat itu dijemput malaikat maut untuk memasuki kehidupan barunya di alam barzah, suatu alam transit menuju alam akhirat.

Pekerjaan mengumpulkan harta kekayaan yang kita lakukan selama sehat dan kuat telah meningkatkan harkat dan martabat kita menjadi orang sukses atau setidaknya di atas rata-rata kebanyakan orang di sekeliling kita.

Tetapi, kesuksesan itu sedikit demi sedikit merenggangkan kedekatan kita kepada ALLAH Swt. Kita lupa, segala yang kita miliki, termasuk roh kita, sejatinya hanyalah titipan Allah dan kapan saja Allah berhak mengambilnya.

ALLAH Swt berfirman, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari darinya, sesungguhnya dia akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada Allah yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.

Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali pernah menyampaikan iktibar. Perjalanan manusia itu ibarat penumpang sedang diajak berlayar sang nakhoda menuju pulau harapan. Lalu, di tengah perjalanan diajak sang nakhoda mampir di sebuah pulau kecil nan indah.

Sang nakhoda mengumumkan kepada seluruh penumpang kapal, “Para penumpang dipersilahkan mampir sebentar di pulau kecil itu, tapi bergegaslah naik di kapal kembali apabila sewaktu-waktu aku memanggil kalian.

Beramai-ramailah penumpang turun ke pulau itu. Namun, mereka ternyata terbagi atas tiga kelompok.

Kelompok pertama, begitu menginjakkan kaki di pulau itu, mereka hanya mengambil barang seperlunya, lalu naik kembali ke kapal. Kelompok ini sedikit sekali. Mereka takut ketinggalan kapal.

Kelompok kedua begitu menginjakkan kaki di pulau, mereka berramai-ramai mengambil manfaat dengan bermacam-macam kegiatan dan pekerjaan. Tetapi selama mereka sibuk, mereka tetap nguping barangkali sang nakhoda memanggilnya sehingga mereka tidak akan ketinggalan kapal. Kelompok kedua ini lebih banyak daripada kelompok pertama.

Sedangkan kelompok yang ketiga, kelompok yang paling banyak daripada kelompok pertama dan kedua. Setelah mereka turun di pulau itu, mereka terpukau dengan keindahan dan kelezatan yang ada di dalamnya. Dengan gegap gempita mereka mengambil manfaat itu dengan terus bekerja dan bekerja. Bahkan ada yang dengan segala cara mereka ingin menguasainya hingga mereka terlena dan lupa pesan sang nakhoda, padahal nakhoda telah memanggilnya.

Kelompok ketiga terus bersaing satu sama lain, sampai-sampai pulau itu terasa sempit bagi mereka dan nyaris habis kandungannya karena diperebutkan sesama mereka. Akhirnya, kelompok yang terbanyak ini pun ketinggalan kapal.

Kelompok pertama merupakan orang-orang beriman dan saleh yang ingin segera  terhindar dari kehidupan duniawi yang penuh dosa ini. Mereka ingin segera bertemu dengan Tuhannya. Mereka adalah orang-orang wara, zuhud, dan ikhlas.

Kelompok kedua adalah orang-orang beriman, namun mereka belum siap mati karena ingin memperbaiki amal perbuatannya untuk akhiratnya. Mereka terus mengejar dunia, tetapi terus pula beramal saleh dengan hartanya. Bahkan, hartanya yang melimpah itu didedikasikan untuk agama Allah semata. 

Kelompok ketiga merupakan orang-orang yang sangat mencintai dunia atau kelompok materialisme. Mereka beranggapan manusia paling mulia adalah yang berkuasa dan kaya harta.

Dari kisah iktibar di atas, Al-Ghazali berpesan agar dalam posisi dan kerja apa pun, semestinya kita selalu ingat mati. Dengan ingat mati akan menghindarkan kita dari keserakahan dan cinta dunia. Ingat mati mendorong kita berada pada jalan yang lurus dan akan mendekatkan diri kita kembali ALLAH SWT.

Tuesday, February 18, 2014

Hati Tercelup Cinta

hati tercelup cinta

Assalaamu alaikum wa rahmatullaahi wa barkaatuhu..

SubhanAllah sahabatku tercinta, Semoga kalian tetap menikmati suasana indahnya sholat malam dan istighfar di setiap saat...aamiin.

Mari kita renungi nasehat ulama dalam kitab Tanbihul Ghofilin menjelang sholat subuh ini. Diantara tanda hamba Allah yang hati tercelup dalam "shibaghotullah" cinta kepada Allah, ada tujuh :

1. Apabila disebut nama ALLAH, hati bergetar rindu padaNya,
2. Apabila dipuji dirinya, ia merasa hina,
3. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah, ia tertunduk lalu mengambil pelajaran,
4. Apabila muncul keinginan untuk bermaksiat, ia segera ingat kematian yang mendekat,
5. Apabila disebutkan ampunan Allah, ia sangat gembira,
6. Apabila malam telah tiba, ia sangat bahagia karena senangnya BERLAMA-LAMA SUJUD DIHADAPANNYA DIPENGHUJUNG MALAMNYA (Shalat Tahajud),
7. Apabila ingat dosanya, ia segera beristighfar.

Aminkan doa dipenghujung malam ini sahabatku..

Allahumma ya Allah tanamkan di hati hamba perasaan selalu rindu kepadaMu, Allahumma ya Allah ingatkanlah selalu hamba tentang dahsyatnya hari akhiratMu agar hamba tidak tertipu dengan kesenangan dunia sesaat ini, Allahumma ya Allah Penguasa hati, tetapkanlah hati hamba dalam taqwa dan istiqomah dijalanMu...aamiin.

Tuesday, October 8, 2013

Syekh Ahmed Hussein Deedat : Sang Orator Andal Kebanggaan Umat Islam

Syekh Ahmed Deedat

SALAM DAKWAH -- Syekh Ahmed Hussein Deedat (lahir 1 Juli 1918 – meninggal 8 Agustus 2005 pada umur 87 tahun). Ahmed Deedat atau Ahmad Deedat adalah seorang cendikiawan Muslim dalam bidang perbandingan agama. Ia juga merupakan seorang pengarang, dosen, dan juga orator. Ia dikenal sebagai salah satu pembicara handal dalam debat public tentang masalah keagamaan. Pada 1957, Deedat bersama dua orang temannya, mendirikan Islamic Propagation Centre International (IPCI) dan ia menjadi presiden hingga 1996. Deedat wafat pada 2005 akibat stroke yang telah dideritanya sejak tahun 1996.

Ahmed Hussein Deedat lahir di daerah Surat, India, pada tahun 1918. Ia tidak dapat hidup bersama ayahnya sampai tahun 1926. Ayahnya adalah seorang penjahit yang karena profesinya hijrah berimigrasi ke Afrika Selatan tidak lama setelah kelahiran Ahmed Deedat.

Tanpa pendidikan formal dan untuk mencari kehidupan yang lebih baik, Ahmed Deedat pergi ke Afrika Selatan untuk dapat hidup bersama ayahnya pada tahun 1927. Perpisahan Deedat dengan ibunya pada tahun kepergiannya ke Afrika Selatan menyusul ayahnya tersebut adalah saat terakhir ia bertemu ibunya dalam keadaan hidup, karena ibunya meninggal beberapa bulan kemudian.

Di negeri yang asing, seorang Deedat yang baru berusia 9 tahun tanpa berbekal pendidikan formal dan penguasaan bahasa Inggris mulai menyiapkan dirinya untuk dapat beradaptasi dan bersaing dengan kehidupan baru di koloni Inggris tersebut.

Dengan ketekunannya dalam belajar, Deedat tidak hanya dapat mengatasi hambatan bahasa, tetapi juga unggul di sekolahnya. Kegemaran Deedat membaca membantunya untuk mendapatkan promosi hingga ia menyelesaikan standar 6. Kurangnya biaya menyebabkan sekolahnya tertunda dan di awal usia 16 tahun untuk pertama kalinya ia terpaksa meninggalkan sekolahnya untuk sementara dan bekerja dalam usaha retail (eceran).

Yang terpenting dari ini semua adalah pada tahun 1936 sewaktu Ia bekerja pada toko muslim di dekat sebuah sekolah menengah Kristen di pantai selatan Natal. Penghinaan yang tak henti-hentinya dari siswa misionaris menantang Islam selama kunjungan mereka ke toko menanamkan tekad pada dirinya untuk mendalami agama Kristen dan membandingkannya dengan Islam.

Mempelajari Alkitab
Ahmed Deedat menemukan sebuah buku berjudul Izharul-Haq yang berarti mengungkapkan kebenaran. Buku ini berisi materi debat dan keberhasilan usaha-usaha umat Islam di India yang sangat besar dalam memberikan argumen balasan kepada para misionaris Kristen yang melakukan misi penyebaran agama Kristen dibawah otoritas Kerajaan Inggris dan pemerintahan India. Secara khusus, ide untuk menangani debat telah berpengaruh besar dalam diri Ahmed Deedat.

Beberapa minggu setelah itu, Ahmed Deedat membeli Injil pertamanya dan mulai melakukan debat dan diskusi dengan siswa-siswa misionaris. Ketika siswa misionaris tersebut mundur dalam menghadapi argumen balik Ahmed Deedat, ia secara pribadi memanggil guru teologi mereka dan bahkan pendeta-pendeta di daerah tersebut.

Keberhasilan-keberhasilan ini memacu Ahmed Deedat untuk berdakwah. Bahkan perkawinan, kelahiran anak, dan persinggahan sebentar selama tiga tahun ke Pakistan sesudah kemerdekaannya tidak mengurangi keinginannya untuk membela Islam dari penyimpangan-penyimpangan yang memperdayakan dari para misionaris Kristen.

Dengan semangat misionaris untuk menyebarkan agama Islam, Ahmed Deedat membenamkan dirinya pada sekumpulan kegiatan lebih dari tiga dekade yang akan datang. Ia memimpin kelas untuk pelajaran Injil dan memberi sejumlah kuliah. Ia mendirikan As-Salaam (Kedamaian), sebuah institut untuk melatih para da'i Islam. Ahmed Deedat, bersama-sama dengan keluarganya, hampir seorang diri mendirikan bangunan-bangunan termasuk masjid yang masih dikenal sampai saat ini.

Ahmed Deedat adalah anggota awal dari Islamic Propagation Centre International (IPCI) dan menjadi presidennya, sebuah posisi yang dipegangnya sampai tahun 1996. Ia menerbitkan lebih dari 20 buku dan menyebarkan berjuta-juta salinan gratis. Ahmed Deedat mengirim beribu-ribu materi kuliah ke seluruh dunia dan mendebat pengabar-pengabar Injil pada debat umum. Beberapa ribu orang telah menjadi Islam sebagai hasil usahanya.

Sebagai penghargaan yang pantas untuk prestasi yang bersejarah itu, ia mendapat penghargaaan internasional dari Raja Faisal tahun 1986. Penghargaan bergengsi yang sangat berharga dalam dunia Islam.

Berpulang ke haribaan-Nya
Syaikh Ahmed Deedat memperjuangkan dakwah hingga ajal menjemput dirinya. Setelah menderita sakit dan kelumpuhan hampir 10 tahun lamanya, pada hari Senin, 8 Agustus tahun 2005 Syaikh Ahmad Deedat berpulang ke rahmatullah menemui Sang Khalik.

Ribuan orang dari seluruh Afrika Selatan mengantar jenazah Syaikh Ahmad Deedat ke tempat peristirahatan terakhirnya. Keranda yang membawa tokoh cendiakawan muslim ini ditutupi kain berwarna hijau dan diusung dari tempat kediamannya di Verulam, Afrika Selatan, sekitar pukul 17.00 sore,  untuk disholatkan di mesjid Wick Street.

Sholat jenazah itu diikuti oleh sekitar 1.000 orang jamaah dipimpin oleh ulama terkemuka asal Zambia Mufti Ismail Menk. Setelah itu jasadnya dimakamkan di pemakaman umum Islam Verulam.

Banyaknya para pelayat yang mengantarkan kepergian Syaikh Ahmad Deedat dikarenakan dirinya sangat dikenal sebagai pejuang dakwah. Kiprahnya dalam dakwah berhasil meningkatkan status warga muslim di Afrika Selatan, namanya dikenal juga oleh komunitas muslim di Asia. Umat Islam sedunia berduka dengan kepergian Syaikh Ahmad Deedat. Deedat yang lama terbaring setelah diserang stroke pada tahun 1996, akhirnya wafat pada Senin pagi di usia 87 tahun.

Sebelum meninggal, da’i yang terkenal dengan serangan-serangannya terhadap teologi Kristen itu masih sempat melawat ke Australia. Anak lelaki Deedat, Yusuf, mengatakan bahwa ayahnya merasakan sakit sangat serius sejak tiga pekan sebelum ajal menjemputnya. “Dia wafat akibat gagal jantung,” tambahnya. “Ibu saya dan saya bersamanya ketika ia wafat,” ujar Yusuf. Meninggalnya Deedat memberi inspirasi kepada banyak pendakwah di berbagai belahan dunia, bahwa mempelajari kitab agama lain adalah senjata untuk membela kebenaran Islam.

Karya-karyanya
Antara karya beliau yang masyhur ialah seperti ‘The Choice Between Islam and Christianity’, ‘Is the Bible God Word?’, ‘What is His Name?’ dan ‘al-Quran, The Miracles of Miracles’.

Buku The Choice: Dialog Islam-Kristen adalah buku terlaris yang ditulis oleh Ahmed Deedat. Buku ini menyebar luas dari Afrika Selatan hingga ke Eropa, Asia, Oceania, bahkan Amerika Utara dan Selatan. Dalam buku ini Deedat mengupas tuntas perbedaan antara Islam dan Kristen. Ia mengupas habis beberapa kesalahan yang ia temukan dalam Alkitab baik Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru..

Sumber : Wikipedia.org

Monday, October 7, 2013

Keutamaan Puasa Arafah

niat dan keutamaan puasa arafah

Assalaamu alaikum wa rahmatullaahi wa barkaatuhu

Sahabatku, Puasa Arafah adalah puasa sunnah yang dilakukan pada tanggal 9 Dzulhijjah atau sehari sebelum Hari Raya Idul Adha. Dinamakan puasa Arafah karena pada saat itu jamaah haji sedang wukuf di Padang Arafah. Puasa Arafah dianjurkan bagi yang tidak berhaji sedangkan bagi yang sedang berhaji tidak disyariatkan berpuasa.

Inilah dalil Keutamaan Puasa Arafah :
  1. Meraih syafaat Rasulullah karena Puasa Arafah adalah puasa kesukaan Rasulullah, "Tiada dari hari dalam setahun aku berpuasa lebih aku sukai dari pada hari Arafah. (HR Baihaqi).
  2. Penghapus dosa setahun yang lalu bahkan sesudahnya, “Saya berharap kepada Allah agar dihapuskan (dosa) setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya.” (HR Muslim).
  3. Saat kita berpuasa doa kita sangat mustajab, “Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arafah (HR At Tirmidzi).
  4. Insya Allah dengan taubat sungguh-sungguh dan Puasa Arafah, Allah bebaskan dari api Neraka, “Di antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari Neraka adalah hari Arafah (HR Muslim)
  5. “Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api Neraka selama tujuh puluh tahun.” (HR Bukhari Muslim).
"SubhanAllah begitu besar rahmat dan karunia Allah untuk hamba-Nya yang berpuasa Arafah. Semoga Allah perkenankan kita sahabatku untuk menikmati Puasa Arafah... Aamiin"