SALAM DAKWAH -- Saat kedua orang tuanya menunaikan ibadah haji, Arifin
malah asyik berjudi. Tapi, ucapan seorang temannya yang pemabuk dan penjudi,
hidupnya berubah total. Ia tinggalkan dunia remajanya yang ‘hitam’ dan dengan caranya
ia mencoba memperbaiki hidupnya. Apa saja yang dilakoni Arifin untuk menebus
kesalahannya pada orang tuanya? Dan bagaimana langkahnya dari seorang ‘penjudi’
menjadi seorang da’i?
Santri
Berdasi
Meskipun
badung, Arifin berhasil lulus SD dengan baik. Nilai pendidikan agamanya
biasa-biasa saja, namun nilai pengetahuan umumnya cukup bagus sehingga ia bisa
masuk ke SMP Negeri I Banjarmasin, sekolah favorit di ibu kota Kalimantan
Selatan itu. “Kalau Arifin serius dan bersemangat untuk belajar, Arifin pasti
mampu,” ujar Arifin. “Ketika kelas 6 Arifin mulai memiliki semangat belajar,
sehingga nilai Arifin pun cukup bagus.”
Tapi,
bukan berarti Arifin tidak nakal lagi. Ia masih suka bermain dengan anak-anak
yang lebih tua darinya, serta bermain judi. Tahun 1982 ayah-ibunya berangkat ke
Tanah Suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Di depan Kabah kedua orang tua
Arifin bersimpuh di hadapan Ilahi, memohon agar Arifin diberikan petunjuk dan
hidayah oleh-Nya.
Sementara
itu, Arifin yang ditinggal di rumah bersama keempat saudaranya, tetap asyik
bermain judi. Bekal yang ditinggalkan oleh ayahnya saat berangkat haji sudah
ludes untuk membeli kelereng guna taruhan berjudi dadu. Suatu hari, ketika
tengah asyik-asyiknya berjudi kelereng, Denny, salah seorang temannya bermain
judi, tiba-tiba nyeletuk, “Fin, ayah lu naik haji, lu malah main judi!”
Arifin
terenyak dan pikirannya mendadak menjadi tidak tenang. Saat itu juga ia
langsung pamit pulang. Celetukan itu ternyata masuk ke nalar Arifin. Meski
Denny seorang pemabuk dan penjudi, entah kenapa, ucapannya kali ini seakan
langsung menohok kalbu Arifin. Sepanjang perjalanan, ia teringat pada kedua
orang tuanya yang tengah menunaikan ibadah haji. Tiba-tiba ia dihantui perasaan
bersalah yang luar biasa kepada kedua orang tuanya.
Bayang-bayang
kenakalannya selama ini mendadak muncul di hadapannya, membuat batinnya makin
tersiksa. Semalaman ia tidak bisa tidur pulas. Setiap kali terbangun, bayangan
kedua orang tuanya muncul, hingga membuatnya sangat khawatir. Tiba-tiba saja
batinnya tercabik-cabik, hingga membuatnya menangis sendirian di kamar.
“Hidayah tidak selalu datang dari seorang kiai atau ulama, tapi bisa juga dari
mereka yang berlumur dosa,” tandasnya.
Arifin
yakin, terbukanya mata hatinya tentu bukan semata-mata karena ucapan Denny yang
menohok hatinya. Arifin mengatakan, “Selain Arifin mendapatkan hikmah dari
ucapan Denny, do’a Abah dan Mamah di Mekah ternyata dikabulkan oleh Allah.
Selain untuk menunaikan ibadah haji, Arifin yakin Abah pasti memohon pada Allah
agar anaknya yang nakal ini bisa mendapat petunjuk dan hidayah-Nya.
Saat
itu juga nur Ilahi itu tiba-tiba datang menyinari seluruh kalbu Arifin. Sejak
itu, Arifin berjanji pada diri sendiri untuk tidak berjudi dan melakukan
tindakan yang tercela. Kalau selama ini Arifin hanya shalat maghrib dan itu pun
tidak rutin, sejak itu Arifin bertekad untuk shalat lima waktu.”
Saat
kedua orang tuanya pulang dari Tanah Suci, mereka sangat terkejut melihat perubahan
sikap Arifin. “Kok, Arifin ini berubah sekali sifat dan kebiasaannya?” tanya
ayahnya dalam hati. Belakangan, Arifin yang saat itu baru kelas 1 SMPN bahkan
minta dimasukkan ke pesantren.
Menjelang
saat penerimaan rapor semester akhir kelas 1 SMP, Arifin diajak oleh kedua
orang tuanya berkunjung ke Pesantren Al-Fallah di kilometer 24, Banjarmasin.
Tapi, Arifin menolak untuk dimasukkan ke pesantren itu. “Saya ingin masuk
pesantren, tapi tidak mau pakai sarung. Saya ingin masuk pesantren yang
bercelana panjang dan berdasi,” kenangnya sembari tertawa.
Sepengetahuan
ayahnya, pesantren yang diharapkan Arifin itu tidak ada di Banjarmasin atau
bahkan di Kalimantan. Pesantren Darussalam di Banjarmasin yang dipimpin oleh
kakek Arifin pun, keadaannya sama. Pesantren yang dimaksud oleh Arifin itu
adalah pesantren modern yang hanya ada di Pulau Jawa.
Arifin
ternyata tidak keberatan untuk nyantri di Pulau Jawa. Begitu menerima rapor
kenaikan, ke kelas 2 SMP, Arifin bersama adiknya, Siti Hajar, diantar oleh sang
ibu ke Jakarta tahun 1983. Kedua kakak-beradik itu kemudian dimasukkan ke
Pesantren Darunnajah di Ulujami, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Meski
masuk pesantren atas kemauannya sendiri, pada awalnya Arifin merasa sangat
tidak betah tinggal di pesantren yang jaraknya sangat jauh dari kedua orang
tuanya itu. Padahal, di pesantren itu ia juga ditemani oleh adiknya. “Kalau di
rumah kami ingin makan lauk yang enak, tinggal ngomong sama Mamah. Di
pesantren, makanan serba terbatas dan rasanya masih kurang pas di lidah kami,”
kata Arifin. “Setiap minggu kami hanya sekali bisa makan daging serta ikan,
selebihnya setiap hari kami hanya makan tahu tempe.”
Rekan
dekat Arifin di Pesantren Darunnajah, Drs. H. Royhan Sabuki, memaklumi keluhan
Arifin. Tapi, ia menyadari kenapa fasilitas pesantren demikian memprihatinkan.
Saat ia masuk tahun 1983, uang masuknya masih sangat murah. Saat itu jumlah
santrinya baru sekitar 300 orang, dan setiap anak ditarik uang masuk Rp50.000,
serta uang makan setiap bulan Rp22.000. “Padahal, untuk sekali makan di warteg
(warung Tegal) saja, waktu itu sudah seribu rupiah. Jadi, wajar kalau dengan
biaya sebesar itu menu pokok kami setiap hari tidak lepas dari tahu tempe,”
kenangnya.
“Di
sinilah seninya tinggal di pondok pesantren. Mereka harus ulet dan disiplin,”
kata Ustad Drs. K.H. Machrus Amin, pendiri dan pimpinan Pondok Pesantren
Darunnajah, Jakarta. “Di pesantren tentu saja berbeda dengan di rumah, baik
untuk mandi atau makan. Agar bisa mandi pagi-pagi, mereka harus disiplin bangun
pagi-pagi pukul empat. Begitu juga dengan makan. Makan di pesantren itu
rumusnya berkah.
Sekarang,
dengan uang makan Rp135.000 sebulan bagi setiap santri, yang berarti sekali
makan hanya Rp1.500, tentu saja tidak akan bisa memuaskan semua pihak. Tapi,
masih bisa makan dengan lauk ayam, ikan, maupun daging, tentu sudah lumayan.
Dengan anggaran itu, semua guru dan karyawan sudah bisa ikut makan. Di sinilah
letak keberkahan pesantren itu!”
Salah
satu sifat yang sangat berkesan pada diri Arifin dari kacamata Royhan adalah
kedermawanannya. Saat di tingkat aliyah (SMU), pertemanan mereka makin dekat.
Setiap kali keluar pesantren, Arifin sering kali mengajak Royhan. “Ustad Arifin
orangnya sangat sosial. Setiap kali keluar pesantren, dia pasti mengajak saya
makan dan makannya selalu di restoran yang enak-enak,” tutur Sarjana Fakultas
Syariah Darunnajah yang kini mengasuh Pesantren Darunnisak di Legoso, Ciputat,
itu.
Tidak
hanya pada dirinya Arifin bersikap dermawan. Suatu hari, Arifin membeli baju
dari bahan kaus di Pasar Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sesampainya
di pesantren, salah seorang teman menegurnya, “Wah, habis beli baju baru, Fin?”
“Ya,
lu mau?” jawab Arifin spontan.
“Nggak...
nggak, ah,” jawab teman itu malu-malu.
“Ambil,
deh, untuk lu!” kata Arifin enteng sembari melempar baju yang baru saja
dibelinya itu.
Gila
Pidato
Di
samping masalah makan dan fasilitas tempat tinggal, ada masalah lain yang
membuat Arifin tidak betah di pesantren. Selain kurang serius dalam belajar, ia
merasa sangat berat mengikuti materi pelajaran agama di pesantren itu.
Seharusnya, untuk masuk di tingkat tsanawiyah (tingkat SMP dengan pendidikan
agama) harus berijazah ibtidaiyah (tingkat SD dengan tambahan pendidikan
agama). Arifin sendiri berasal dari SD umum dan pengetahuan agamanya pun sangat
tipis. Ia belum lancar membaca dan menulis Arab. Padahal, itu merupakan materi
utama pelajaran di tingkat tsanawiyah.
“Karena
sangat jauh tertinggal, maka semangat belajar Arifin pun jadi sangat kurang,”
Arifin beralasan. “Selain itu, di pesantren tersebut nilainya jujur sekali.
Kalau nilainya 2 atau 3, nilai di rapor pun akan seperti itu. Nilai rapor
Arifin pun seperti lautan merah. Dari 40 mata pelajaran di rapor, lebih dari 30
mata pelajaran merah semua. Buruk sekali!”
Saat
itu Arifin sangat terpukul dan sedih. Tapi, ia tak ingin menyerah.
Bagaimanapun, masuk ke pesantren itu adalah kemauannya sendiri. Ia tidak ingin
mengecewakan kedua orang tuanya. Memasuki semester dua, ia berusaha memacu
diri. Kalau orang lain bisa, ia pun harus bisa, begitu tekadnya. Usahanya tidak
sia-sia, ia berhasil naik ke kelas II. Di kelas ini ia memacu diri lebih keras
lagi. Hasilnya, sangat fantastis. Ia berhasil naik kelas dengan nilai yang
cukup bagus, sehingga nilainya di atas rata-rata. Belakangan, ia bahkan masuk
ranking sepuluh besar di kelasnya.
Tahun
berikutnya, Arifin tidak hanya bernilai bagus, namun juga menjadi bintang di
bidang olahraga dan kesenian. Selain lari dan badminton, ia berhasil menjadi
juara membaca puisi. Hanya, dalam bidang pidato, Arifin masih belum pede
(percaya diri). Setiap kali ada acara latihan berpidato, keringat dingin
membasahi sekujur tubuhnya. Sebenarnya, ia ingin sekali bisa tampil berpidato.
Tetapi, ia selalu diselimuti ketegangan dan ketakutan yang luar biasa setiap
kali akan melangkahkan kakinya ke podium.
Tapi,
bukan Muhammad Arifin kalau ia langsung menyerah. Pikirannya tiba-tiba
menerawang jauh ke belakang, ketika ia masih tinggal bersama kedua orang tuanya
di Banjarmasin. Setiap sore menjelang maghrib, ia dan saudara-saudaranya selalu
diajak kedua orang tua mereka ke Masjid Sabilal-Muqtadin, sekitar 200 meter
dari rumahnya. Mereka berada di masjid hingga shalat isya, sambil mendengarkan
pengajian yang disampaikan oleh K.H. Rafi Hamdan, seorang ustad kenamaan di
kota Banjarmasin. “Arifin sangat terkesan dengan cara-cara beliau memberikan
pengajian. Sayang, kini beliau sudah tiada,” tutur Arifin.
Arifin
sangat mengidolakan ustad itu. “Enak juga jadi seorang da’i seperti beliau,
bisa memberikan pencerahan pada banyak orang,” pikirnya. “Tapi, bagaimana
mungkin berceramah panjang lebar seperti itu, kalau mau naik ke mimbar saja
Arifin sudah gemetaran?”
Arifin
terus merenung dan berpikir bagaimana caranya bisa berpidato dengan baik.
Setiap kali acara latihan berpidato itu diselenggarakan di pesantren, ia selalu
berusaha datang. Begitu juga ketika di pesantrennya diselenggarakan lomba
pidato, ia selalu mengamati satu demi satu rekan-rekannya yang tampil.
Ketika
akhirnya salah seorang di antara mereka dinyatakan tampil sebagai juara, pengamatannya
pun dialihkan kepada rekannya itu. Arifin mengamati kehidupan sehari-hari
rekannya itu, sejak mulai bangun tidur, shalat, makan, dan sebagainya.
“Ternyata anaknya biasa-biasa saja. Kalau dia bisa, kenapa Arifin tidak?” kata
Arifin mengungkapkan perasaannya saat itu.
Sejak
itulah, Arifin seperti ‘kesetanan’ pidato. Di saat semua teman di kamarnya
tertidur lelap, ia justru bangun. Ia lalu berdiri di atas tempat tidurnya, dan
beraksi seperti layaknya orang-orang berpidato di atas mimbar, ”Para hadirin
yang sedang nyenyak tidur, para bantal, para kasur, dan para sarung yang
kumal-kumal yang kami hormati. Pertama-tama marilah kita panjatkan kepada Allah
SWT yang….”
MR
Englishman
Cara
‘gila’ belajar dan berlatih pidato itu ternyata tidak percuma. Ia tidak lagi
mandi keringat dingin dan gemetaran setiap kali harus naik mimbar di hadapan
teman-teman santrinya untuk berlatih pidato. Ia pun mulai mampu mengatur kata
demi kata yang harus ia sampaikan dalam setiap latihan pidatonya. Kepercayaan
dirinya terus bertambah, sehingga ia pun mulai berani tampil berceramah di luar
pesantren. Setiap kali ia pulang liburan ke rumah orang tuanya di Banjarmasin,
ia mulai memberanikan diri berceramah di Dakwatul-Chair, surau yang lokasinya
tidak jauh dari rumahnya.
Meski
di pesantren sudah sering berpidato, Arifin mengaku sangat tegang saat pertama
kali diminta oleh pengurus surau itu untuk berceramah. “Semalaman Arifin tidak
bisa tidur dan keringat dingin keluar dari sekujur tubuh,” kenangnya. “Arifin
kemudian bangkit dari tempat tidur dan berusaha membaca buku untuk
mempersiapkan bahan ceramah. Siapa tahu, sambil membaca, mata jadi lelah dan
bisa tidur. Ee… mata Arifin tetap saja melek dan buku yang Arifin baca pun
tidak masuk ke otak. Berhadapan dengan massa ternyata lebih menakutkan!”
Tapi,
hanya sekali itu saja Arifin nervous, sehingga ceramahnya pun dirasakan tidak
keruan dan banyak kalimat yang salah-salah. Sampai di rumah, Arifin pun
kemudian berpikir panjang. “Arifin ternyata dibutuhkan umat. Arifin ditunggu
oleh umat. Jadi, Arifin harus lebih serius dan bersungguh-sungguh lagi!”
Hari-hari
selanjutnya ketegangan itu makin berkurang dan ia pun tampil dengan penuh
percaya diri. Rupanya, banyak jemaah yang menyukai gaya ceramahnya, sehingga
belakangan ia diminta tampil di tempat-tempat lain. Akhirnya, setiap kali
pulang ke Banjarmasin, Arifin jadi sangat sibuk. Di usianya yang masih sangat
remaja, ia sudah menjadi penceramah agama dari masjid ke masjid. “Belakangan,
Arifin bahkan diminta untuk berkhotbah Jumat di Masjid Al-Jihad, masjid
orang-orang Muhammadiyah yang cukup dikenal di Banjarmasin,” kata sang ayah.
Menanggapi
tentang kepiawaian Arifin berpidato, Royhan bercerita, “Sejak dulu, cara
bicaranya sangat terlatih, sehingga setiap kali dia tampil selalu mendapat
sambutan hangat dari teman-teman. Akhirnya ia pun berhasil menjadi juara di
berbagai lomba pidato. Selain di Pesantren Darunnajah, ia berhasil menjadi
juara pidato tingkat nasional dan tingkat Asean.”
Kesimpulan
Arifin, “Sebesar kesadaranmu, sebesar itu pula keuntunganmu. Sebesar
keinsafanmu, sebanyak itu pula keuntunganmu!” Royhan pun sangat kagum pada
semangat dan kesungguhan Arifin. Memasuki tahun kedua, setiap santri di
Darunnajah diharuskan berkomunikasi dengan bahasa Arab atau Inggris. Kalau ada
santri yang berbicara sehari-hari tidak menggunakan kedua bahasa asing itu,
maka mereka akan dihukum. Hukumannya bisa bermacam-macam, tergantung berapa
kali santri itu ketahuan tidak berbahasa asing. Hukuman bisa berupa menghafal
atau menulis kata atau kalimat bahasa Arab/Inggris, bisa disuruh membersihkan
kamar mandi, dan sebagainya.
Setiap
anak diwajibkan menjadi mata-mata bagi anak lain, sehingga siapa pun yang
berbicara dengan tidak menggunakan bahasa Arab atau Inggris, pasti akan
mendapatkan hukuman. Akhirnya, hampir semua santri pernah menjalani hukuman
itu. Kalau teman-teman lain lebih suka berbicara dengan bahasa Arab, Arifin
lebih suka berbahasa Inggris. Arifin sering kali mengatakan, “I don’t care. I
don’t care with the other person!” ujar Arifin seperti ditirukan oleh Royhan.
“Teman-teman
menyebut Ustad Arifin sebagai Mr Englishman!” Royhan bercerita sembari tertawa.
Di kalangan teman-temannya, Arifin dikenal lebih piawai berbahasa Inggris
daripada berbahasa Arab.
Jagoan
Berkelahi
Perjalanan
menuju sukses ternyata memang tidak mudah. Di mana pun, ada saja orang yang iri
dan dengki melihat orang lain sukses. Demikian juga yang dirasakan Arifin.
Selain merasa sulit bergaul, ia sering kali merasa diperlakukan tidak adil oleh
pengasuh pesantren maupun para guru. Maklum, yang masuk di pesantren itu memang
santri-santri dari berbagai suku di tanah air, sehingga budaya dan tingkah laku
mereka pun bermacam-macam. “Sejak kecil Arifin paling tidak bisa melihat
ketidakadilan. Karena itu, Arifin pun terpaksa berkelahi karena melihat
ketidakadilan itu,” kata Arifin.
Suatu
hari, Arifin melihat ada seorang santri yunior bernama Muhammad Ali disakiti
oleh santri senior. Arifin pun marah dan tidak mau menerima keadaan itu sambil
menantang sang senior itu berkelahi. “Eh, lu jangan cuma berani lawan anak
kecil. Lawan gua kalau i memang jagoan!”
Dalam
kesempatan lain, Arifin naik pitam lagi ketika ia berhasil memergoki santri
yang mencuri lauk-pauk kiriman ibunya dari Banjarmasin. Hampir setiap bulan ia
memang mendapat kiriman kecap, abon, dan ikan khas Banjarmasin. Sebagian ia
bagikan kepada teman-temannya, dan sebagian lagi ia simpan agar bisa untuk
makan sebulan. Tapi, belum lagi genap tiga hari, semua lauk itu sudah raib.
Bulan berikutnya, Arifin sengaja memasang jebakan, sampai akhirnya berhasil
menangkap ‘pencuri’nya. Arifin pun langsung menghajar anak itu. Sambil melempar
abon dan kecap ke wajah temannya itu, Arifin membentaknya, “Makan, tuh, abon
sama kecap ini!”
Selain
dikenal sebagai juara lomba pidato, di Pesantren Darunnajah Arifin akhirnya
juga dikenal sebagai santri yang suka berkelahi. Padahal, setiap kali usai
berkelahi, Arifin selalu mendapat hukuman, yaitu digunduli kepalanya. Suatu
hari, ketika Arifin dan santri-santri lain tengah antre makan, mendadak salah
seorang santri langsung nyerobot antrean. Melihat ketidakadilan seperti itu,
Arifin tentu saja sangat marah. Saat itu hanya Arifin yang berani menegur
santri nakal itu, karena dia punya banyak teman. “Meskipun di pesantren,
rupanya mereka main geng-gengan juga,” kenang Arifin. “Tapi, Arifin tidak
takut, walaupun akhirnya Arifin dikeroyok oleh mereka. Perkelahian tentu saja
sangat tidak seimbang, sehingga bibir Arifin pun robek dan berdarah-darah!”
Sebagai
hukuman, Arifin pun harus digunduli. Tapi, ia berontak karena merasa
diperlakukan tidak adil. Santri yang mengeroyok dan memukulinya ternyata malah
tidak dihukum sama sekali. “Apanya lagi yang mau dibotaki, Kiai, sementara
kepala saya sudah botak?” gumam Arifin.
Diundang
Ceramah
Merasa
diperlakukan tidak adil, Arifin mulai merasa tidak nyaman sekolah di pesantren
itu. Ia pun memutuskan keluar sekolah, meski baru duduk di kelas dua aliyah
(tingkat SMU). Setelah mengundurkan diri dari pesantren itu, Arifin pun masuk
ke Pesantren Assyafi’iyah di daerah Bali Matraman, Tebet, Jakarta Selatan.
“Saya merasakan banyak ketidakadilan yang terjadi di Darunnajah, sehingga tidak
nyaman lagi untuk meneruskan sekolah di sini,” tuturnya pendek.
Seperti
di Darunnajah, tahun 1987 itu Arifin langsung masuk ke kelas 2 aliyah
Assyafi’iyah. Di tempat ini ia tidak mondok di pesantren sehingga bisa lebih
bebas mengekspresikan kemampuannya berpidato. Awalnya, ia hanya diminta
menggantikan Ustad Ahmad yang berhalangan hadir karena beliau harus berangkat
ke luar negeri. Ia dijemput dengan mengendarai motor Vespa dan pulangnya
dibelikan nasi goreng.
Undangan
ceramah kedua datang untuk peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Tapi, porsinya
juga hanya sebagai pengisi waktu karena Ustad Manarul Hidayat —ustad kenamaan
saat itu— yang seharusnya mengisi acara tersebut, datang agak terlambat. Namun,
dua kali pemunculan tanpa sengaja justru membawa hikmah. Ia mulai dikenal
banyak orang. Dan sejak itulah undangan berceramah di lingkungan pesantren itu
mulai berdatangan.
Lebih
setahun kemudian ia berhasil lulus aliyah dan berhasil mendapat ranking ketiga.
Menurut rencana, ia akan melanjutkan kuliah ke sebuah universitas di Mekah,
tapi beberapa guru menasihatinya agar kuliah di perguruan tinggi umum di
Indonesia saja. Arifin akhirnya mendaftarkan diri di Jurusan Hubungan
Internasional Fakultas Ilmu Politik Universitas Nasional di Jakarta. Sambil
kuliah, Arifin terus berceramah di masjid, surau, atau majelis taklim. Kian
lama langkahnya kian jauh. Dari seputar Bali Matraman, merambah ke seluruh
wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.
Tahun
1994 Arifin lulus dari Universitas Nasional sebagai sarjana ilmu hubungan
internasional. Sambil menjadi dosen di Universitas Borobudur, Arifin makin
memantapkan diri sebagai da’i. Arifin mengemukakan, “Arifin ingin membuktikan
kepada semua orang bahwa kalau kita bersunggung-sungguh, maka kita akan
berprestasi. Di mana pun, kita akan bisa berprestasi!”.
0 komentar:
Post a Comment