Saturday, October 5, 2013

Biografi K.H Ustad Muhammad Arifin Ilham - Bagian I

biografi kh ustad muhammad arifin ilham 1

SALAM DAKWAH -- Suatu siang di tepi sungai kecil tak bernama di Jalan Sutoyo, Banjarmasin, seorang anak laki-laki berusia dua tahun sedang asyik bermain-main air menemani sang ibu yang sedang sibuk mencuci. Tiba-tiba bocah itu tergelincir dan sekejap kemudian air yang deras sudah menariknya ke tengah sungai. Menyaksikan anaknya hanyut, tanpa berpikir panjang ibu yang tengah hamil delapan bulan itu langsung terjun ke sungai. Air sungai yang deras dan dalam tidak membuatnya ciut. Ia berenang semampunya agar bisa menggapai kaki anak lelaki satu-satunya itu. Bocah itu sudah tenggelam cukup jauh dan terus meluncur cepat sejalan dengan derasnya air sungai.
Sekujur tubuhnya tak terlihat dan hanya sesekali kaki anak itu tampak menjulur ke atas. Sambil terus berenang, wanita muda itu berusaha sekuat tenaga menggapai kaki anak itu. Ia seakan sudah tidak menghiraukan lagi bahwa di perutnya tengah ada jabang bayi yang usianya sudah cukup tua. 
Syukurlah, usahanya membuahkan hasil. Setelah berenang sekitar empat meter lebih, ia akhirnya berhasil menangkap kaki putranya. Bocah itu sudah pucat pasi dan tak sadarkan diri. Beruntung, ibu itu masih merasakan ada gerak kehidupan di jantungnya. Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, ibu itu menggendong putranya ke pinggir kali. Setelah itu, sang ibu tak sadarkan diri dan tidak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya. 
Perjuangan ibu itu tidak sia-sia. Bocah yang nyaris mati tenggelam itu, kini telah menjadi seorang da’i (penceramah agama) yang sangat kondang. Sejak namanya mulai dikenal, hampir setiap hari K.H. Ustad Muhammad Arifin Ilham muncul di layar TV atau media lain. Berbeda dengan da’i sejuta umat, K.H. Zainuddin M.Z., dan da’i manajemen kalbu, Aa Gym, Arifin Ilham tampil dengan gaya zikirnya yang menyejukkan. Seakan membawa jemaahnya terbang ke langit serta melupakan dunia yang fana. 

Bergigi Sejak Lahir
Saat Arifin kecil itu tenggelam, ayahnya, H. Ilham Marzuki, yang bekerja sebagai staf di Bank BNI 46 di Banjarmasin, tengah berada di luar kota. Saat itu Arifin tengah bermain dengan kakaknya, Mursidah, sementara ibunya tengah mencuci. “Saat bermain dengan kakak, saya tiba-tiba terpeleset dan terjatuh ke sungai. Saya langsung tenggelam dan setelah itu saya tak sadar lagi apa yang terjadi,” Arifin Ilham membuka kisah masa kecilnya di sela-sela kegiatannya yang padat, antara lain mengisi siaran rohani di televisi. 
Alhamdulillah, Arifin berhasil ditolong dan sehat kembali, sementara ibunya maupun kandungannya juga tak bermasalah. Pada 21 April 1971 (kandungan usia sembilan bulan sepuluh hari) ibunya melahirkan adik Arifin, Siti Hajar, dengan selamat. 
Arifin Ilham adalah anak kedua dari lima bersaudara, dan dia satu-satunya anak lelaki. Ayah Arifin masih keturunan ketujuh Syeh Al-Banjar, ulama besar di Kalimantan, sementara ibunya, Hj. Nurhayati, kelahiran Haruyan, Kabupaten Barabay.
Setahun setelah menikah, pasangan ini melahirkan putri pertama mereka tahun 1967. Karena anak pertama mereka perempuan, betapa bahagianya mereka ketika anak keduanya adalah laki-laki. Nurhayati mengatakan bahwa saat hamil anak keduanya itu, ia merasa biasa-biasa saja, tidak ada tanda-tanda khusus. Hanya, berbeda dengan keempat putrinya, saat dalam kandungan, bayi yang satu ini sangat aktif. Tendangan kakinya pun sangat kuat, sehingga sang ibu acapkali meringis menahan rasa sakit. 
Bayi yang lahir tanggal 8 Juni 1969 itu kemudian diberi nama Muhammad Arifin Ilham. Berbeda dengan keempat saudaranya yang lain, yang saat lahir berat mereka rata-rata 3 kilogram lebih, bayi yang satu ini beratnya 4,3 kilogram dengan panjang 50 sentimeter. “Anehnya, bayi itu sejak lahir sudah bergigi, yaitu di rahang bagian atasnya,” kenang Nurhayati.
Bayi itu selanjutnya tumbuh sehat. Usia setahun sudah bisa berjalan dan tak lama setelah itu ia mulai bisa berbicara. Setelah Siti Hajar, satu demi satu adik Arifin pun lahir. Yaitu, Qomariah yang lahir tanggal 17 Mei 1972 dan si bungsu Fitriani yang lahir tanggal 24 Oktober 1973.
Saat berusia lima tahun, Arifin dimasukkan oleh ibunya ke TK Aisyiah dan setelah itu langsung ke SD Muhammadiyah tidak jauh dari rumahnya di Banjarmasin. Arifin mengaku, saat masih di SD itu ia tergolong pemalas dan bodoh. “Kata orang Banjarmasin, Arifin itu babal. Arifin baru bisa baca-tulis huruf Latin setelah kelas 3,” kenang Arifin yang setiap kali berbicara tentang dirinya selalu menyebut namanya sendiri. 
Di SD Muhammadiyah ini Arifin hanya sampai kelas 3, karena berkelahi melawan teman sekelasnya. Masalahnya, dia tidak rela ada salah seorang temannya yang berbadan kecil diganggu oleh teman sekelasnya yang berbadan cukup besar. Arifin kalah berkelahi karena lawannya jagoan karate. Wajahnya babak belur dan bibirnya sobek. Agar tidak berkelahi lagi, oleh ayahnya Arifin kemudian dipindahkan ke SD Rajawali. 
Rumah tempat tinggal orang tua Arifin terletak di Simpang Kertak Baru RT 7/RW 9, kota Banjarmasin, tepat di sebelah rumah neneknya, ibu dari ibunda Arifin. Sebagai pegawai Bank BNI 46, ayahnya sering kali bertugas ke luar kota Banjarmasin, kadang-kadang sampai dua-tiga bulan. Ayah Arifin mengakui bahwa ia tidak banyak berperan mendidik kelima anaknya, sehingga akhirnya yang banyak berperan mendidik Arifin adalah istri dan ibu mertuanya. Arifin mengungkapkan bahwa cara mendidik kedua orang tua itu keras sekali. “Baik Mama maupun Nenek kalau menghukum sukanya mencubit atau memukul. Dua-duanya turunan, kalau nyubit maupun memukul keras dan sakit sekali,” canda ustad muda itu. 
Nenek Arifin sangat disiplin. Setiap pulang sekolah, Arifin kecil diharuskan untuk tidur siang. Kalau tak bisa tidur, ia terpaksa berpura-pura tidur, karena ditunggui dan dipelototi oleh sang nenek. Kalau mata melek sedikit, neneknya langsung berteriak-teriak, “Tidur... tidur…!” Meski tak ditunggu sekalipun, ia tak berani kabur karena kalau ketahuan pasti langsung dicubit atau dipukuli. Meskipun semua saudaranya perempuan, mereka pernah merasakan cubitan ibu maupun neneknya. “Nenek, kalau nyubit di paha, kenceng sekali, sampai-sampai paha kami biru-biru semua,” tambahnya sembari tertawa. 
Di masa kecil, Arifin lebih suka bermain dengan teman-teman yang usianya lebih tua, sehingga ia dijuluki ‘ketu’, maksudnya, kecil tapi tua. Akibatnya, meski secara fisik dan usianya masih bocah, penalarannya acapkali seperti orang dewasa. Ibunda Arifin sangat terkesan dengan sifat sosial dari anak lelaki satu-satunya itu. “Sejak kecil, Arifin sangat berjiwa sosial. Dulu, ketika anak-anak masih kecil, setiap kali saya membagikan makanan dan di antara saudaranya ada yang merasa kurang, maka bagian makanannya langsung diberikan kepada saudaranya itu,” kenang sang ibu.
Ada satu kenangan yang tak pernah dilupakan oleh ibu dari lima anak itu. Saat itu, Arifin, yang baru duduk di kelas IV SD, serta semua saudaranya diajak jalan-jalan oleh kedua orang tuanya. Di tengah jalan, Arifin tiba-tiba memohon kepada ayahnya agar menghentikan mobilnya. Begitu mobil berhenti, ia segera turun. Rupanya, Arifin merasa iba melihat seorang lelaki tua yang susah payah menarik gerobak yang sarat dengan bawaan, menaiki jembatan. Bocah itu langsung membantu mendorong gerobak dari belakang sampai akhirnya berhasil mendaki jembatan itu. “Setelah itu, Arifin masih memberi uang kepada lelaki tua itu,” tutur Nurhayati, mengenang kelakuan putranya.

Kabur dari Rumah
Kenakalan Arifin rupanya masih saja berlanjut, meskipun sudah dipindahkan ke SD Rajawali. “Maklum, karena kami tinggal di kota, Arifin mulai agak terpengaruh pada hal-hal yang sedikit negatif,” tutur Ilham Marzuki. ”Dia mulai bisa bermain judi dengan uang kecil-kecilan dan merokok dengan sembunyi-sembunyi.” 
Menurut Arifin, ia tidak pernah berjudi dengan taruhan uang. “Arifin memang suka bermain judi dadu, tapi taruhannya bukan uang,” sergahnya. “Kalau Arifin berjudi, taruhannya kelereng. Kita pasang tiga kelereng, kalau menang dapat 10 kelereng. Tapi, Arifin banyak kalahnya sehingga lama- kelamaan duit Arifin pun habis untuk membeli kelereng. Karena masih ingin main judi, Arifin pun mencuri. Saat Abah memanggil-manggil dan mengajak shalat berjemaah, Arifin pura-pura mandi. Begitu Abah sudah mulai shalat, Arifin pun segera masuk ke kamar Abah dan mengambil uang Abah yang ada di kamar. Arifin tak berani mengambil banyak-banyak, hanya sekitar seribu rupiah!” 
Pendidikan yang keras dan disiplin terhadap Arifin di rumah rupanya tidak selalu membuahkan hasil yang sesuai dengan harapan kedua orang tuanya. Di luar rumah, Arifin menikmati dunianya sendiri, sehingga membuat kedua orang tuanya jadi semakin cemas. “Karena Abah sering ke luar kota, maka Arifin pun jadi kurang terkontrol dan nakal,” kata Arifin beralasan.
Oleh kedua orang tuanya Arifin pun didatangkan guru mengaji ke rumah. Selain diharapkan pintar mengaji, kedua orang tuanya juga berharap agar anak lelaki satu-satunya itu tidak banyak bermain di luar rumah. Tapi, apa yang terjadi? Arifin justru membuat ulah yang aneh-aneh. Setiap kali guru mengaji itu datang ke rumah, ia selalu saja dijaili Arifin. “Kadang-kadang Arifin gembosin ban sepedanya, kadang-kadang ngumpetin sandalnya,” ujar Arifin berterus terang.
Saat kelas 6 SD Arifin pernah mengancam akan membakar rumah orang tuanya. Pasalnya, sang ayah tidak mau mengabulkan permintaannya. Rupanya, ia minta dibelikan motor trail, tapi malah dibelikan motor Vespa. Ayahnya khawatir, kalau dibelikan motor trail, Arifin akan main kebut-kebutan yang tentu sangat membahayakan keselamatannya. “Biarpun harganya lebih mahal, motor itu tidak trendi,” ujarnya jengkel. 
Meski sudah menyiapkan minyak tanah dan korek api, orang tuanya tidak memperhatikan ancamannya itu. Arifin jadi kesal. Ia kemudian membuat ulah agar ayahnya naik pitam. Suatu sore, ketika banyak orang sedang bermain badminton di sebelah rumahnya, Arifin ikut bergabung bersama mereka. Ia tahu ayahnya sedang duduk-duduk di teras rumahnya dan dengan mudah bisa melihat apa yang diperbuatnya. Ia juga tahu ayahnya sangat tidak suka melihat orang merokok, terlebih itu dilakukan oleh anak kecil, seperti dirinya.
Arifin pun sesungguhnya tidak suka merokok. Tapi, untuk memancing kemarahan ayahnya, ia sengaja merokok di depan ayahnya dan orang banyak. Begitu sampai pada tiga empat isapan, sang ayah mendekatinya dan langsung menampar sambil memarahinya. “Kamu ini nyontoh siapa, sih. Kamu, kok, jadi badung seperti ini? Kamu mau jadi apa kalau sudah besar nanti?”
Tamparan itu tidak hanya mempermalukannya, tapi juga membuatnya sakit lahir batin. Maklum, sewaktu muda ayahnya juga pernah berlatih karate, sehingga pukulannya cukup mantap. Saat itu juga ia kabur dari rumah. Ia sangat marah dan sakit hati sehingga tidak ingin pulang lagi ke rumah orang tuanya. Tapi, begitu jauh dari rumah, ia bingung mau lari ke mana. Karena hari sudah larut, maka ia putuskan singgah di rumah Ahmad, sahabat mainnya. Ia berpesan kepada keluarga Ahmad agar tidak memberitahukan keberadaannya kepada kedua orang tuanya. Tapi, diam-diam orang tua Ahmad memberitahukannya kepada Hj. Nurhayati, ibu Arifin. Nurhayati kemudian memberikan sejumlah uang kepada orang tua Ahmad untuk keperluan Arifin, baik untuk makan atau keperluan lain.
Arifin sama sekali tidak tahu bahwa ibunya sudah mengetahui keberadaannya. Tapi, ia merasa ada sesuatu yang agak janggal. Ia tahu persis bahwa kehidupan keluarga Ahmad tergolong susah. “Tapi, kenapa setiap hari makanannya selalu lezat-lezat? Nasinya enak, lauknya pun lengkap, ada ikan, daging, dan sebagainya,” papar Arifin.
“Rupanya, selama Arifin menginap di rumah ini, selalu disubsidi Mama. Mama datang setiap hari dengan sembunyi-sembunyi, tanpa Arifin ketahui atau pas Arifin tidak berada di rumah,” lanjutnya.
Memasuki hari kelima, Nurhayati datang ke rumah orang tua Ahmad dan sengaja menemui Arifin. Ia memberi tahu bahwa ayahnya sakit keras gara-gara memikirkan Arifin. Ia membujuk putranya agar segera pulang ke rumah. Arifin trenyuh juga mendengar cerita itu dan saat itu pun ia bersedia pulang bersama ibunya. Sampai di rumah, Arifin langsung memohon maaf kepada ayahnya yang langsung memeluknya.
“Kami saling berpelukan dan bertangis-tangisan,” kenang Arifin sendu. “Ini benar-benar seperti cerita sinetron!” lanjutnya bercanda.

Berlanjut ke Biografi K.H Ustad Muhammad Arifin Ilham - Bagian II

0 komentar:

Post a Comment